24. Kosong

162 40 7
                                    

Beberapa hari setelah Mark tak sengaja melihat Sikha dan kakaknya berpelukan di depan rumah dan selama itu juga memendam rasa pahit di hatinya. Ia tak lagi berani berharap banyak dengan hatinya, dengan perasaannya. Kini bahkan laki-laki itu memilih untuk berusaha menjauh.

Untuk apa mengharapkan sesuatu yang tidak mengharapkannya balik? Toh, itu hanya berakhir menyakiti hatinya sendiri.

Ia tak tahu apa Sikha menyadari sikapnya yang mulai menjauh ini. Malam-malamnya jadi sunyi karena nyaris tak pernah lagi melempar kerikil kecil ke jendela tetangganya itu dan mengajaknya bercerita macam-macam semalam suntuk.

Mark bahkan tertawa miris ketika tiap malam, ia membuka jendela kamarnya hanya untuk melihat bayangan Sikha dari balik korden sebelum perempuan itu mematikan lampu dan bersiap tidur.

"Gue kangen, tapi gue tahu hati lo bukan buat gue. Jadi untuk apa gue bertahan?" ucapnya pada diri sendiri saat menatap jendela kamar Sikha malam itu. "Hati nggak pernah bisa dipaksa, Kha. Gue nggak pernah mau jatuh cinta sama lo yang jelas-jelas nggak mungkin ngasi perasaan yang sama. Tapi hati gue sama bodohnya dengan otak gue yang dari dulu denial. Kalau aja gue sadar ini dari lama, apa kita akan berakhir dengan ending yang gue harapkan?"

Semiris itu.

Mark rasa, dia tak pernah jatuh cinta sedalam ini pada seseorang. Dia tak pernah berharap sebesar ini untuk dicintai balik. Tapi dengan Sikha, ia merasakan semuanya.

Dia merasa jatuh cinta sangat dalam untuk pertama kalinya, sekaligus merasa patah hati paling parah juga pertama kalinya.

"Mark, gue lama banget ngga liat lo ngobrol sama Sikha lagi. Kenapa? Kalian berantem?" Pagi itu, Tison tumben berangkat agak siang ke kantor. Kakaknya itu baru selesai bersiap setelah Mark bangun dari tidurnya dan langsung bergabung di meja makan untuk sarapan. Hanya setangkup, dua tangkup roti ditambah kopi pagi. "Tuh anak beberapa kali nanyain tentang lo ke gue, soalnya."

Mata mengantuk Mark agak terbuka mendengar perkataan Tison. Kaget juga mengetahui fakta jika Sikha mencarinya. Ingin berharap lagi, tapi takut dijatuhkan dengan keras.

"Enggak, emang lagi males aja gue ngomong sama dia," jawabnya pura-pura tak peduli sambil menggigit pinggiran roti tawar. "Lagian buat apa? Nggak ada perlu juga."

Tison sedikit meliriknya setelah mendengar jawaban si bungsu. Tersenyum simpul lalu menyiup kopinya perlahan. "Lo males ngomong sama dia ata lo lagi jauhin dia?"

"Buat apa gue jauhin dia?"

"Ya ... gue nggak tau alasan lo kenapa harus menjauh dari Sikha." Sejak awal Mark memang tak suka saat Tison jauh lebih dulu menyadari perasaan dalamnya pada Sikha. Kenapa harus kakaknya yang tahu dan yakin jika Mark memiliki rasa lebih dengan sahabat kecil mereka itu? Dengan begini, Tison akan sangat mudah menggodanya. "Lagian, Sikha lagi jomblo tuh. Nggak mau deketin?"

Mark tertawa miris. "Buat apa? Dari dulu juga dia nggak pernah anggep gue lebih dari tetangga slash sahabat kecil nyebelin yang cuma bisa bikin dia nangis, 'kan?"

"Lo nyerah terlalu cepat kalau kayak begini." Lalu Tison menepuk pundaknya dan puncak kepala adiknya itu sebelum bangkit. Menggunakan jas yang sejak tadi tersampir di punggung kursi dan memperbaiki dasinya. "Namanya perasaan itu harus diperjuangkan. Nggak bisa lo diem nunggu dia peka sedangkan lo di sini kerjaannya makan hati tiap liat dia dideketin atau ngedeketin cowok lain. Apalagi cewek yang lo suka sangat nggak peka, macam Sashika. Lo bikin move dong, biar dia sadar kalau lo nungguin dia."

Bikin gerakan cepat, ya? Rasanya bakal sama saja, nggak sih?

"Taulah Bang, capek gue sama ini semua. Dari awal harusnya gue nggak jatuh cinta aja sama frenemy gue. Ribet urusannya."

The Pisces's Choice✔Where stories live. Discover now