16. Perempuan Patah Hati

186 47 12
                                    

Angin malam sebenarnya cukup dingin. Membuat Sashi beberapa kali mengusap lengannya. Berusaha mencari kehangatan sambil duduk dekat penjual jagung bakar yang tak jauh dari posisinya saat bertemu Mark tadi.

Ketika mereka hendak kembali tadi, perut perempuan itu tiba-tiba berbunyi. Cukup kencang untuk bisa didengar oleh Mark. Jadi, laki-laki itu mengambil inisiatif. Mengajak Sashi mencari makan malam dan pilihan mereka jatuh pada jagung bakar. Nampak mengkilat karena olesan minyak dan bumbu juga hangat setelah dibakar di atas bara api.

"Karena lo lagi sedih, gue yang bakal traktir jagung bakar ini." Meskipun Markandeya nyaris selalu bersikap menyebalkan, harus Sashi akui jika di beberapa masa, tetangganya itu akan menjadi sosok yang bisa ia andalkan. "Jagung bakar segini doang, nggak bakal bikin gue miskin." Walau tetap, gaya tengil dan menyebalkannya tidak pernah hilang.

Sashi mencibir kecil tapi ia tak menolak. Menghampiri pedagang jagung bakar yang nampak bengong sendiri karena tak ada pembeli. Perempuan itu memilih duduk dekat pemanggangan. Mencuri sedikit hawa panas dari sana.

"Mang, jagung bakarnya dua ya," pesan Sashi. Ia membiarkan Mark yang menjauh, mencari seorang lagi pedagang minuman dan membelikannya air mineral. "Yang satu pedes, satunya lagi jangan pedes ya."

"Iya, Neng." Kerutan senang muncul di wajah tua mamang penjual jagung itu. Menyadari jika ia mendapatkan pelanggan baru setelah hampir satu jam ia hanya bengong sendiri. Saking senangnya, mamang itu menjadi semangat menanyai Sashi. "Beli dua jagung buat siapa aja, Neng? Buat sendiri?"

"Oh bukan, itu buat dia." Sashi menunjuk ke arah Mark yang sedang membeli air mineral tak jauh dari mereka. Nampak cukup mencolok karena tampilannya yang sangat sederhana, cenderung urakan tetapi tetap mempesona. Beberapa wanita yang lewat bahkan meliriknya dengan penuh minat.

"Pacarnya, ya?" Pedagang itu sudah terkikik menggoda dengan tangan yang aktif menggipasi jagung di atas bara apinya. Membuat Sashi menoleh dan memasang wajah terkejut. "Nengnya cocok atuh sama akang itu. Sama-sama kasep geulis, euy. Kalau kata orang teh, serasi."

"Ah bukan, mamang salah sangka." Demi apa, Mark dikira kekasihnya? Yang benar saja? "Dia bukan pacar saya."

"Bukan atau belum?"

Astaga. Kenapa juga pedagang jagung ini jadi luar biasa ingin tahu? Padahal Sashi tak punya kewajiban untuk menjelaskan hubungan mereka. Lagipula mereka bukan sepasang kekasih. "Bukan, Mang. Kita tuh cuma tetangga doang."

"Ah masa tetangga doang? Tetangga masa gitu?" Kening perempuan itu mengernyit. Tidak mengerti dengan maksud perkataan mamang pedang jagung bakar tersebut. "Mamang liat loh, tadi nengnya nangis, 'kan? Terus akangnya teh sampai lari-larian nemuin si eneng, khawatir."

"Hah?" Serius, Sashi tak tahu jika Mark sampai harus berlari mencarinya. Ia pikir, laki-laki itu malah sengaja berjalan melengos karena malas menghampirinya yang dengan sangat random, menelepon malam-malam. Malahan, perempuan itu sempat mengira jika tetangga menyebalkannya tak akan datang.

"Kalau lagi marahan jangan lama-lama atuh, Neng! Kasian si akang teh, bela-belain jemput malem-malem." Oke, ia memang merasa sedikit bersalah karena mungkin saja telah menganggu waktu istirahat Mark. Tapi, dia sendiri tak tahu kenapa harus menghubungi laki-laki itu dari sekian banyak nomor dalam kontak ponselnya. "Ntar mamang kasi bonus kacang rebus deh, buat neng sama akangnya."

Ia tak bisa mengatakan apapun selain tersenyum tipis. Mengangguk singkat dan berkata terima kasih karena telah ditawarkan sesuatu yang tidak dirinya pesan secara cuma-cuma.

"Udah jagungnya?" Tepat setelah itu, Mark muncul di belakangnya. Menyerahkan satu botol air mineral dan diterima Sashi dengan senang hati. "Minum dulu, gue nggak mau lo mati dehidrasi karena kebanyakan nangis."

The Pisces's Choice✔Where stories live. Discover now