• Hartsa Firgan Yogantara •

1K 163 25
                                    

✨✨✨✨✨

Hal paling menyebalkan dalam lelapnya tidur adalah mendadak kebelet buang air saat sudah hanyut dalam mimpi yang 'hiya-hiya'. Memang gemuruh hujan beserta angin sore nan dingin sedang tidak mendukung untuk menjemput puncaknya. Itulah yang dirasakan oleh seorang cowok berambut acak-acakkan dengan wajah yang dipuja Kaum Hawa tapi bagi orang tuanya B aja. Masih dalam keadaan mata sedikit tertutup, ia melompat dari tempat tidur menuju kamar mandi.

Tak lama, cowok yang tadinya nampak semrawut berubah betah dipandang saat wajahnya diterpa air segar dan sebagian rambut ikut basah. Semacam tradisi wajib berkaca lebih dulu kemudian menyisir rambut dengan jemarinya. Matanya melirik ke luar jendela, ternyata hujan cukup deras. Ia termenung beberapa saat, sebab hujan selalu mengingatkannya pada kejadian buruk. Meski sudah bertahun lamanya, tak ada yang mampu mengikis memori itu walau waktu dengan kejam membiarkannya berlalu.

"Jadi laper," monolognya sambil menggaruk perut.

Di sekeliling kamar bernuansa abu-abu putihnya terdapat banyak poster dan stiker yang berkaitan dengan sepak bola. Terpampang jelas wajah sang idola bahkan stiker tanda tangannya. Pun foto masa kecil saat ia beruntung bisa bertemu Cristiano Ronaldo. Ada lemari khusus untuk baju dan sepatu bolanya. Bahkan tersedia tempat piala serta medali penghargaan di berbagai perlombaan cabang olahraga atas nama Hartsa Firgan Yogantara.

Panggil saja Hartsa. Pelajar SMA yang cukup dikenal banyak orang karena marga Yogantara adalah milik sang papa. Pria sukses dengan cabang perusahaan menancap di mana-mana. Menjadi nilai tambah ketika Hartsa juga merupakan pribadi yang ramah dan lawak untuk banyak orang.

Baru saja kakinya mendarat sempurna di lantai dasar, seseorang sudah berdeham dengan kacamata bertengger di hidungnya.

Hartsa melirik, mengangkat dagunya angkuh. "Apa?"

Plak!

Sebuah pukulan melayang di kepala Hartsa. "Siapa yang ngajarin kamu begitu sama orang tua?"

"Pa, aku ini anak Papa."

"Siapa bilang anak tetangga?" Akram—Papa Hartsa, sosok pria yang gagah namun menyebalkan di waktu bersamaan bagi Hartsa.

Cowok berkaus oblong hitam itu memasang wajah tengilnya. "Kalo udah nyamperin tanpa diminta pasti ada maunya."

Pergerakan Hartsa ingin ke dapur dicegat sang papa dengan cara merangkulnya menuju ruang keluarga. "Hujan gini enaknya ngopi, kuy!"

"Aduh! Aduh, sakit perut, gawat Pa! Rahimku bermasalah kayaknya."

Akram menggelengkan kepalanya. "Mau menstruasi kamu?"

"Aduh, serius! Gejala laper, nih," rengek Hartsa.

"Maka dari itu, kamu ke kafe langganan kita, deh. Beli makanan buat kamu sama yang lain juga."

Akting seorang Hartsa gagal. Ia berdiri menghadap Akram. Masih sempat-sempatnya mengejek dengan merendahkan badan agar sejajar dengan pria paruh baya itu.

"Gak sayang sama anak?"

"Mau sayang gimana kalau kamu jadi anak kualat aja kerjanya!" Akram sengaja menendang lutut putranya hingga Hartsa hilang keseimbangan.

"Oh My God! Hartsa!"

Tujuan awal mencari tumpuan malah tangannya menampar wajah kakak sendiri. Wanita yang memiliki tatapan tajam itu tentu saja berhasil membuat Hartsa diam sambil nyengir kuda.

"Sorry, sistur!"

"Lagian disuruh keluar bentar mager amat!"

Alasan kenapa Akram lebih sayang pada kakaknya ya ini, secara tersirat ia lebih banyak membela sang papa daripada adiknya sendiri.

ATTESA [Completed] Where stories live. Discover now