ATTESA : 14

755 116 52
                                    

✨✨✨✨✨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✨✨✨✨✨

Hartsa jadi kelihatan aneh setelah bertemu dengan pria misterius tadi. Ia bahkan terkesan memaksa Helsy untuk pulang bersamanya padahal gadis itu tidak mau merepotkan. Cowok itu tengah duduk menunggu Helsy di depan apotek. Kalau sudah kambuh begini, mengontrol ketakutan masih susah untuk Hartsa lakukan.

Selang beberapa menit, Helsy menghampiri Hartsa dengan menjinjing dua kantung kresek di tangannya. Untung saja ada apotek yang tak jauh dari komplek rumahnya, jadi ia bisa membeli banyak bahan untuk persiapan lomba.

"Gue udah—" Ucapan Helsy menggantung ketika sadar bahwa Hartsa menghilang.

Gadis itu celingak-celinguk padahal motor Hartsa masih ada. Ternyata, tepat di seberang jalan ada sosok Hartsa tengah menurunkan seorang nenek-nenek bertongkat dari punggungnya. Hartsa mencium punggung tangan nenek itu dan menyelipkan lembaran berupa uang.

Hangat, sebegitu pedulinya Hartsa pada orang sekitar tanpa mengharap bayaran. Ketika berbagi pun, Hartsa jarang sekali mengunggahnya ke sosial media. Kata papanya, cukup jadi rahasia antara dia dan Tuhan. Tanpa sadar, Helsy tersenyum menyambut teman baiknya itu.

"Sudah selesai?" tanya Hartsa.

"Iya, sudah."

"Buset, banyak amat. Lo mau ngapain?"

"Besok kan, ada lomba PMR."

Hartsa ber-oh ria sembari menaiki motornya. Ia menyerahkan helm Helsy yang tadi bertengger di kaca spion. Setelah siap, motor berwarna hitam tersebut melesak menuju kediaman Helsy. Namun, semesta memberikan hal tak terduga dengan tiba-tiba menurunkan hujan deras. Keduanya sudah tiba di depan komplek, tapi Hartsa memilih untuk berteduh di emperan toko yang kebetulan tutup.

"Neduh dulu, gue gak bawa jas hujan."

"Padahal rumah gue udah deket."

"Jangan nekat nerobos hujan, ntar lo sakit."

Helsy hanya tersenyum tipis menanggapinya.

Gadis dengan rambut kuncir kuda itu menikmati aroma khas dari hujan, menadahkan tangan seolah menyambut salam perkenalan dari rinai yang tak pernah lelah dibuat jatuh berkali-kali.

"Gue benci hujan," lirih Hartsa.

"Kenapa? Hujan ini rahmat dari Tuhan. Katanya, waktu yang tepat meminta permohonan dan kemungkinan besar Tuhan mengabulkan itu."

"Oh ya? Kalau gue buat permohonan biar orang yang bikin gue benci hujan kek gini musnah aja, bakal dikabulin, gak?"

Terjadi keheningan, hanya terdengar suara rintik yang mulai reda—hujan sebatas lewat. Helsy menatap Hartsa begitu dalam, menemukan sorot lain yang jarang cowok itu tunjukkan. Helsy ingat Hartsa juga memiliki trauma masa lalu, mengaku bahwa suasana hujanlah yang waktu itu membuatnya ketakutan setengah mati.

ATTESA [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang