Epilog

857 104 44
                                    

Terlalu banyak tumpukan buku yang dibaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terlalu banyak tumpukan buku yang dibaca. Serentetan materi yang harus dicatat oleh satu tangan. Begadang temannya, kopi seduhannya, tidur pun entah berapa lama. Sesibuk itu ia menjalani masa kuliah sebagai mahasiswa kedokteran.

Almamater kuning yang menutupi tubuhnya ia lepas begitu tiba di sebuah kafe. Kafe yang pernah memberinya kesempatan bermain piano dan memasuki ruang hologram sebelum resmi dibuka bersama seseorang yang kini tengah sibuk pelatihan. Di luar sedang mendung, mendukung sekali untuknya menyesap seduhan Americano.

"Excuse me. Your name pin?"

Seseorang menyerahkan pin nama miliknya yang mungkin tercecer di jalan. Qiraya Helsy S.

Saat mendongak, ia menemukan sebuah senyum lebar yang akan selalu mendapat predikat sebagai moodboosternya. Terakhir kali bertemu, dia tetap sama. Tampan dan menawan.

"Hello, my lovely butterfly."

"Hartsa? Kapan pulangnya? Kok, tiba-tiba? Kenapa gak—"

Kecupan singkat mendarat di pipi Helsy sebelum kekasihnya itu duduk di depannya.

"This is surprise to you, honey."

Ah, ada yang berbeda. Otot di tangan Hartsa makin tercetak kala ia mengenakan kaus agak ketat bertuliskan Taruna Akademi Kepolisian. Ditambah suara bariton yang memberinya kesan seperti seorang lelaki, bukan lagi cowok cengengesan yang dulunya suka menggulung ujung lengan seragam sekolah.

"Masih jadi tuyul, rupanya."

Hartsa menatap Helsy sangar. Hanya sebentar, kemudian jinak saat perempuan itu mengusap bagian kepalanya.

"Berapa lama di sini?"

"Kamu percaya gak, aku kabur latihan cuma buat ketemu kamu?"

"Gak." Tapi kalau pun Hartsa kabur, sebagai anak dari seseorang yang berperan penting di balik keberlangsungan pendidikan di Akpol, Hartsa punya hak khusus tersendiri dan bersifat rahasia.

Diam. Hening. Tarik dan embusan napasnya terdengar teratur. Hartsa menyentuh pipi Helsy, mengusapnya penuh rindu.

"Aku kangen. Kamu tuh, keliatan kurusan, mata panda. Pasti capek, ya?" Hartsa khawatir.

"Walau capek, tapi aku suka. Kamu juga pasti capek, kan?"

"Banget. Terus kalau ingat kamu, gak jadi capek."

Gombal mode on.

"Jadi ... serius kamu—"

"Wanna do something with me?"

Belum sempat berucap, Hartsa sudah menarik tangan kekasihnya untuk menuju lantai dua. Ruang hologram luar angkasa yang kini jauh lebih luas. Tak ada siapa pun selain mereka berdua. Sekali tarik Hartsa merengkuh tubuh Helsy dalam pelukannya.

Erat, sangat erat. Perempuan yang membiarkan rambutnya tergerai itu menenggelamkan wajah di dada bidang Hartsa. Aroma yang masih sama ketika Hartsa pertama kali datang dan berkenalan dengannya. Helsy menyukai aroma itu bahkan dari awal mereka berteman.

"I miss you," bisik Hartsa tanpa Helsy tahu dia hampir menangis.

"I always miss you too. But, this is our consequence, dear. Ini baru tahun pertama kamu, kalau kabur lagi bisa—"

"I know, sayang."

Pelukan itu terlepas. Beralih Hartsa meraih tangan Helsy dan memerhatikan cincin pemberiannya masih tersemat di salah satu jari.

Rindu memang suka mengganggu, memaksanya untuk segera bertemu.

"Aku mau kasih ini." Kotak bludru sampai ke tangan Helsy.

Ia membukanya, terdiam beberapa saat melihat kalung berkilauan di bawah cahaya remang.

"Biar kamu makin ingat sama aku."

Matanya hampir berair, kembali memeluk Hartsa begitu erat. Lelaki itu mengambil kalung dari kotak, memasangkannya untuk Helsy. Satu kecupan manis mendarat di puncak kepala kekasihnya, menyadarkan Hartsa bahwa tatapan polos walau mata berkantung itu akan selalu sama. Sorot yang selalu membuatnya merasakan ketulusan.

"Aku juga punya sesuatu buat kamu."

"Oh, what? A kiss?" goda Hartsa.

"Yes," jawab Helsy tanpa ragu.

"Hei, hei. Jangan mancing."

"Kamu duluan yang mulai."

Tentu saja mereka bercanda. Helsy mengambil sesuatu dari dalam sling bag-nya. Menyerahkan sebuah kotak hitam ke Hartsa. Saat dibuka isinya adalah jam tangan—yang mungkin harganya tak seberapa dibandingkan kalung pemberian Hartsa.

"For me?"

Helsy mengangguk. Memasangkan jam tangan itu ke tangan kekasihnya. "Couple with me," ujarnya sembari memerlihatkan tangan kirinya.

"Mantul. Biar orang-orang tau aku cuma punya Helsy seorang. Atau ntar aku kasih keterangan jangan dipegang, tangan ini udah ada yang punya. Gitu kali, ya?"

Perempuan di depannya hanya tersenyum manis. Kemudian Helsy berjinjit, mendaratkan sebuah kecupan di dahi, mata, hidung, kemudian kedua pipinya.

"Happy birthday, my moodbooster."

~~~~~~~~~~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~~~~~~~~~~

Segera dipublikasikan :

Trivia : Sepuh Perbucinan (Andrik)

Trivia : Yang Mulia Duit (Faldo)

Trivia : Harta Tahta Hartsa (Hartsa)


HAPPY IED MUBARAK ZEYENG. MOHON MAAF LAHIR BATIN. SEMOGA PUASANYA BERKAH. SEMUA COBAAN KITA LEKAS BERLALU. DAN TETAP SEMANGAT UNTUK SIAPA PUN YANG BACA INI💜💜💜

~~~~~~~~~~

Banjarmasin,
23 Mei 2020

Salam,
Nyai.

ATTESA [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang