ATTESA : 39

782 117 115
                                    

✨✨✨✨✨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✨✨✨✨✨

Waktunya bersenang-senang. Melepas kepenatan setelah dijajah menuju kemerdekaan. Sebelum disibukkan dengan urusan daftar kuliah, Hartsa dan kawan-kawan memilih menghabiskan waktu untuk berkemah di salah satu hutan wisata yang kini menyediakan lahan khusus keluarga Yogantara. Hm, sepertinya tak perlu menunggu seabad untuk Jakarta dikuasai oleh Akram Yogantara.

"Tanah ini milik Akram Yogantara?" Delvi tak sengaja membaca bagian pembatas.

"Punya Om Akram itu," sahut Andrik.

Kalau dibandingkan antara trio cogan sengklek yang hidup sederhana adalah Andrik. Tapi sederhana di sini bukan berarti setara rakyat jelata, ya. Andrik punya dua kakak, dua-duanya bertugas di luar negeri setelah menjalani pendidikan Akademi Militer. Mereka jarang pulang, waktu perbaikan berita kematian mendiang ayah mereka pun cuma datang sebentar sebelum kembali bertugas. Bisa dibilang sih, harta waris ayahnya masih tersimpan apik. Andrik tuh sukanya hemat, tapi kalau gretongan kudu diembat.

Hartsa dan Faldo hampir setara, lah. Cuma bedanya ayah Faldo hanya mencantumkan nama pada perusahaan asing terutama di tanah kelahiran—Spanyol. Rumahnya di mana-mana, mungkin sekarang otw membangun di Antartika. Black card udah kayak kartu gambar yang harganya seribuan. Katanya juga, ayah Faldo punya simpanan berbatang-batang emas sehingga kekayaan mereka tumpah-ruah. Niatnya memang berbagi, tapi sesekali terselubung riya itu adalah Faldo.

Hartsa? Ya begitu, dia selalu bilang yang kaya raya orang tuanya, bukan dia. Kalau bagi-bagi rezeki tidak pernah sengaja diumbar. Kalau pun tersebar ke sosmed, mungkin para mata-mata yang kepo kali aja keluarga Yogantara pesugihan. Memang ya, warga +62 hidupnya kurang afdal kalau tidak julid.

"Lo gimana, sih?! Gitu aja gak bisa!"

"Susah ini! Bilang makasih, kek! Udah dibantuin juga."

Sampai di hutan pun Zaana dan Faldo masih berdebat. Kali ini Faldo ingin membantu para gadis perawan mendirikan tenda, tapi sedikit ada kendala dan Zaana langsung mencerocos.

"Gak usah pakai urat, gue lagi capek debat sama hantu," celetuk Faldo.

Tenda dan barang-barang yang lain baru selesai dirapikan setelah tiga puluh menit berjalan.

Sore itu dari bagian tanah bebatuan hutan yang meninggi, mereka dapat menyaksikan indahnya matahari terbenam. Hutan tersebut memang disediakan untuk para wisatawan yang ingin berkemah, atau para pendaki gunung yang numpang istirahat.

Suasana sekitar terasa sunyi walau di belahan lain juga ada beberapa tenda. Ini tanah khusus, harus punya izin tertulis kalau mau mendirikan tenda. Maka dari itu, hanya ada tenda mereka yang bertengger.

"Sini, gaes! Bagus banget, fotoin, dong!"

"Pemandangan jadi rusak kalau ada lo."

"Do, kali ini gue gak mau pake urat. Males ngomong sama hantu," balas Zaana.

ATTESA [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang