16

1.3K 234 96
                                    

Akun-akun tukang spam komen pada ngilang kemana ya? Aku rindu membaca kebacotan :')

.

.

Kai terbaring di atas lantai yang dingin di kamarnya, tak berdaya. Bahkan ujung jemarinya saja tidak sanggup ia gerakkan. Rasa sakit yang menjalar di punggungnya sungguh tak tertahankan. Bahkan matanya saja sudah lelah untuk menangis dan menangis.

Hari ini adalah hari terakhir Kai bisa berada di dunianya. Mulai besok ia akan benar-benar dibuang dan tak akan pernah bisa kembali ke sini. Yang tersisa hanyalah kekuatannya yang tak banyak—dan sudah berkurang setengah karena sayapnya yang dicabut secara paksa.

Satu-satunya yang ada di benak Kai saat ini hanyalah Yeonjun. Ia benar-benar merindukan laki-laki itu. Senyumnya, dekapnya, elusnya, bahkan kehadirannya saja cukup untuk membuat Kai merasa lebih baik. Tapi semuanya tidak nyata. Ia bahkan tak tahu keberadaan Yeonjun saat ini. Semuanya terasa buruk.

Apakah ini adalah akhir dari kehidupannya?

___

Mengerahkan sisa tenaganya, Kai berhasil sampai di tempat persembunyiannya dengan Yeonjun—meski terseok-seok. Ia membuka pintu, dan tidak ada siapapun disana, hanya ruangan kosong yang menyambutnya. Kai mengerang saat bahunya terasa nyeri. Mendudukkan diri di atas ranjang, Kai menyentuh bahu kirinya, mengernyit saat gelombang sakit itu kembali datang.

Tubuhnya lemah, dan ia butuh istirahat. Karena itu Kai memejamkan matanya, berharap besok keadaannya membaik. Semoga saja.

___

Saat terbangun, hal yang pertama Kai sadari adalah punggungnya yang terasa dingin—bahkan nyerinya juga berkurang. Ia coba untuk mendudukkan diri dan melihat ke belakang—meski tak jelas, tapi ia bisa melihat ada dedaunan tertempel di sana. Kai menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak ada disiapapun. Jadi, siapa yang mengobatinya?

Baru saja telapak kaki Kai hendak melangkah, pintu kamar lebih dulu terbuka, menampilkan sosok laki-laki yang memegang keranjang kecil di tangannya. Mereka berdua sama-sama tertegun—mata Kai memanas. Tak peduli kalau tubuhnya belum sempurna sembuh, ia berlari ke arah sang kekasih dan menghambur di dalam pelukannya—dan terisak di sana.

"Yeonjun-ah... Yeonjun-ah..."

Kai tidak kuasa menahan air matanya. Ia remat bagian depan pakaian Yeonjun dengan kedua tangan sambil menyebut nama sang kekasih berkali-kali. Yeonjun tersenyum kecil, menepuk-nepuk puncak kepala Kai dengan sebelah tangannya yang tak memegang keranjang kecil.

Setelah puas membasahi bagian depan pakaian Yeonjun, barulah Kai menarik kepalanya—berjinjit untuk mencium Yeonjun. Serangan tak terduga itu tak pernah Yeonjun duga. Kai yang ia kenal adalah dewa bunga pemalu yang jarang sekali memulai sentuhan. Dalam ciumannya, Yeonjun tersenyum kecil.

"Sudah, nangisnya?"

Kai mengelap ingus dengan punggung tangan, mengangguk tanpa melepaskan tangan yang satunya lagi dari pakaian Yeonjun. Diam-diam Yeonjun menggigit pipi dalamnya, gemas sekali.

Bahkan saat mereka berjalan ke ranjang pun, Kai masih tidak mau melepaskan tangannya dari baju Yeonjun. Yeonjun meletakkan keranjang kecil yang dibawanya tadi ke atas ranjang. Isinya adalah kelopak beberapa jenis bunga—yang ia petik memang untuk Kai. Kai tersenyum kecil, langsung mengambil satu kelopak bunga berwarna merah dan memasukkannya ke dalam mulut.

"Rasanya aneh," gumam Kai. Yeonjun menggaruk belakang lehernya. "Maaf, aku tidak menemukan bunga cosmos dimanapun."

"Tidak masalah. Rasanya tidak terlalu buruk kok, terima kasih."

COSMOS | SooKaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang