22 (Epilog)

1.8K 231 184
                                    

Di suatu hari di musim gugur, setelah berpuluh-puluh musim dingin telah berlalu.

_

Istana sedang ramai oleh sekumpulan pemuda dari penjuru negeri untuk bersaing menjadi pengawal istana. Menjadi kesatria istana adalah impian semua anak laki-laki—kuat, hebat dan mampu melindungi orang-orang yang disayang.

Kamal Kai pun begitu. Impiannya sama seperti impian semua anak laki-laki. Dan hari ini, satu kebodohan yang ia lakukan adalah terlambat bangun. Benar-benar keterlambatan yang sangat teledor, mengingat hari ini adalah seleksi awal untuk menjadi prajurit istana.

Maka dengan langkah kaki yang sempoyongan, Kai menenggak segelas susu sajian ibunya di atas meja yang sudah mendingin, mengambil dua lembar roti lapis, dan dengan tergesa-gesa memakai sepatunya dengan roti ia gigit di mulut—ia akan mengunyahnya sambil berlari nanti.

Orang tuanya pasti sudah pergi pagi-pagi sekali untuk berdagang, dan kedua adiknya yang lucu masih terlelap di kamar. Setelah memastikan ia mengunci pintu dengan benar, anak laki-laki berambut coklat tua itu berlari-larian di jalanan, menembus jarak dari rumahnya ke istana yang tak dekat. Kadang menabrak bahu orang dewasa yang bergumam marah, kadang hampir menabrak nenek-nenek tua yang kesusahan berjalan—Kai tentu saja menolong nenek itu lebih dulu baru melanjutkan perjalanan—atau kadang bertemu anjing lucu dan menyempatkan beberapa detik untuk mengelusnya—dengan izin di pemilik tentunya.

Saat melihat ada antrian panjang di depan gerbang istana, Kai tahu dirinya nyaris saja terlambat. Untung saja.

Maka dengan patuh ia mengambil nomor antrian, mendaftar dengan menyerahkan tanda penduduk legalnya, dan untuk kali pertama menginjakkan kaki di halaman istana—hei, tidak semua orang bisa memasuki istana seperti masuk ke pasar.

Kai tahu kalau bukan hanya ia yang terbelalak melihat apa yang ada di balik tembok istana. Kemegahan, keagungan, dan juga junjungan yang sangat tinggi. Walaupun begitu, ia tidak bisa berlama-lama melihat halaman depan karena semua anak laki-laki yang mendaftar diharuskan menuju halaman belakang istana. Di sanalah seleksi pertama akan dilakukan.

Kai berdiri di baris bagian belakang—tentu saja karena tubuhnya yang menjulang. Walau ia sudah tahu apa yang akan dihadapinya nanti, tetap saja Kai penasaran dan melongokkan kepalanya ke depan untuk melihat pertarungan satu lawan satu antara calon kesatria yang mendaftar melawan kesatria tahun pertama yang menjadi petugas penerimaan kesatria baru.

Gumaman orang-orang terdengar sangat menikmati pertarungan—padahal giliran mereka akan tiba nantinya. Kai juga demikian, menikmati pertunjukan gratis bagaimana teknik bertarung seseorang bisa berbeda antara satu dengan lainnya.

Menit-menit berlalu, antrian Kai semakin dekat, dan ia merasakan rasa bersemangat yang luar biasa berkumpul di dadanya. Kini impiannya tidak sekadar impian, ia akan bisa menjadi apa yang dulu ayahnya tidak bisa raih.

Kai bertekad kuat untuk lulus dan membanggakan keluarganya. Pasti. Harus.

Maka saat nomor antriannya tiba, Kai maju ke meja awal untuk memverifikasi identitas diri dan juga mendapatkan perlengkapan untuk bertarung—seperti pelindung di bagian kepala dan dada. Saat ia sedang mengenakan pakaian pelindung yang sebenarnya tidak terlalu berguna untuk melindungi tendangan, ia sayup-sayup mendengar suara dua orang kesatria tahun pertama yang berdiri tak jauh dari tempat ia berpijak.

"Kemana perginya Senior Jungkook?" satu di antaranya bertanya dengan kening berkerut. Sedang satunya menjawab dengan nada rendah, "Ia dipanggil oleh Ketua Park entah untuk apa. Yang jelas Senior Jungkook tidak akan mengawasi jalankan seleksi awal ini."

Laki-laki yang bertanya tadi mendesah lega, "Baguslah, setidaknya tidak akan banyak anak baru yang akan terluka."

"Hei, kau salah. Justru itu adalah musibah. Kau tahu siapa yang menggantikan Senior Jungkook sebagai petarung satu lawan satu nanti?"

COSMOS | SooKaiWhere stories live. Discover now