1 ➵ like father, like son

15.4K 1.7K 124
                                    

gak bapak, gak anak sama aja. banyak maunya.

[]

Pukul setengah lima sore. Gue masih sibuk dengan pengetikan laporan yang harus selesai hari ini. Netra gue tetap fokus dan jari-jari gue bergerak lincah. Sampai akhirnya telepon kantor yang ada di ruangan gue berdering.

Gue menghela napas kasar. Dengan sedikit rasa malas, gue mengangkat panggilan itu. Gue udah bisa menebak siapa yang menelepon di waktu mepet pulang begini.

"Selamat sore, dengan saya Roseanne Park. Ada yang bisa dibantu?" sapa gue dengan nada malas. Sebenarnya gue cuma berlagak, gue kan bukan resepsionis. Cukup dengan 'halo' sebenarnya bisa.

"Gak usah mengada-ngada kamu, Rose. Ini ada laporan yang harus diperbaiki. Juga kamu rapiin schedule saya untuk minggu depan. Hari Jumat-nya dikosongin," perintah suara diseberang sana, Pak Changwook—satu-satunya bos gue.

Gue tersenyum tidak ikhlas, gue tau Pak Changwook gak bakal ngeliat gue senyum terpaksa.

"Baik, Pak," balas gue masih dengan senyum terpaksa.

"Kalau bisa kamu lembur malam ini. Saya mau malam ini dikirim semuanya ke e-mail saya."

Tahan, Rose. Sabar.

Gue memejamkan mata dan menghela napas kasar. Lembur? Lembur? Lembur katanya?! Gue udah niat pulang ini!

"Kamu itu kalau kerja yang iklas!"

Gue mengeratkan rahang geram. Lagi-lagi menghela napas dan memejamkan mata sesaat. "Iya, Pak. Ini sedang diusahakan. Lagi saya download ikhlas-nya."

"Jangan bercanda kamu! Cepat diselesaikan. Kalau malam ini gak selesai, saya batalkan uang lembur kamu."

Gue melotot marah. Sembarangan sekali bapak tua ini.

"Wah, gak bisa gitu, Pak! Saya kan—"

"Sudah ya. Tolong diselesaikan."

Tuuuuttt!!!

Gue meletakkan telepon itu kasar. Ini orang ngeselin banget, ya! Untung atasan gue, untung udah tua! Kalau gak udah lama gue ubah jadi pisang bejek!

Gue menatap laptop lemas. Lama-lama ini benda yang nangis karena kecapekan. Bayangin aja, udah lima hari ini gue lembur, Coy!

Gue meregangkan badan sesaat. Dan lembur pun dimulai.

[]

Pukul tujuh malam. Gue menatap layar laptop yang menampilkan program Word. Putih-putih bikin pikiran gue nge-blank. Jadi gue putuskan untuk ke luar ruangan, bikin satu cup coffee dan menghirup udara yang lebih baik.

Ruangan gue ada di lantai tujuh. Karyawan lain menyebut lantai tujuh sebagai 'Lantai Surga'. Bukan apa-apa, yang mengisi ruangan ini cuma CEO, direktur dan manajer umum. Plus gue, karena gue sekretaris CEO.

Malam ini gak ada yang lembur selain gue. Iya lah, ngapain juga tiga atasan itu lembur. Sok banget. Mereka bisa membebankan semua tugas mereka ke gue. Sungguh menjadi gue harus punya kesabaran tingkat dewa.

Gue selesai membuat kopi. Gue berbalik ke ruangan. Gue mendorong pintu seperti biasa. Selesai gue menutup pintu, ada seseorang yang udah duduk manis di sofa ruangan gue.

"Maaf, Anda siapa, ya?" tanya gue sopan. Ini sedikit serem. Malam-malam, gue sendirian di lantai ini—untungnya bukan gedung ini. Dan seorang laki-laki masuk ke ruangan gue.

Dia duduk di sofa gue tanpa rasa bersalah. Dia memakai leather jacket warna hitam dan jeans hitam. Sneakers putihnya dengan santai menginjak karpet ruangan gue yang baru aja di-laundry kemarin lusa.

Apa dia office boy baru? Tampangnya kebagusan, bajunya juga. Klien? Gak. Gak mungkin ada klien yang datang mendadak malam-malam—karena kalau pun ada, dia pasti ngelindur.

Dia menghembuskan napas kasar—seolah-olah kesal ketemu gue. "Gue anaknya Pak Changwook."

Oke, gue mengerti dari mana tampang bagus itu berasal. Tapi kenapa dia di sini?

"Oh, saya mengerti. Tapi kenapa Anda di sini? Butuh laporannya sekarang?" Gue masih berusaha sopan, walau wajah gue berkata sebaliknya.

Dia menggeleng, wajahnya keliatan bad mood. "Jangan formal-formal amat. Gak enak dengernya."

Gue menelan ludah kasar. "Oke. Kamu... mau ambil... laporannya?"

"Jangan pake aku-kamu! Geli," tukasnya dengan wajah datar ngeselin itu.

Gue memejamkan mata sesaat dan menghembuskan napas kasar. GAK BAPAK, GAK ANAK SAMA AJA. BANYAK MAUNYA.

Gue emosi dalam hati. Ingin mengeluarkan kata-kata kasar, tapi takut dia cepu-an ke bapaknya. Gue masih sayang karir.

"Lo mau ambil laporannya?" Akhirnya gue bertanya dengan nada sesantai mungkin dan sesongong mungkin.

"Enggak. Gue disuruh Mama jagain elo. Disuruh nganter pulang juga," balasnya santai dan memposisikan duduk terbaik di sofa gue yang mahal itu.

Gue melongo tak percaya. "O-oke. Aneh—eh, maksud gue gak perlu. Lo gak perlu jagain gue, dan lo gak perlu nganterin gue pulang."

Dia memutar mata kesal. "Gue juga gak mau. Tapi kalau gue balik sekarang, Asus ROG gue ditahan Mama seminggu. Jadi, lo harus membantu gue. Simbiosis mutualisme, kan?"

Gue mendengus kesal. Simbiosis mutualisme, ndasmu. Ini namanya dimata-matai!

[]

Gue merasa lega luar biasa saat selesai mengirimkan hasil kerja malam ini ke Pak Changwook. Gue melirik sekilas ke anaknya yang sedang tidur itu. Iya, dia tidur di sofa gue dan menutup wajahnya pakai bantal sofa gue.

Mau emosi sebenarnya. Itu sepatu bisa gak naik gak, sih?! Sofa gue itu putiiihhh! Gue hanya bisa merengut dan mencak-mencak dalam hati.

Setelah selesai membereskan barang-barang, gue berjalan ke arah anak Pak Changwook itu. "Ekhem! Lo mau pulang gak?"

Gak ada respon.

"HALO!!! LO MAU PULANG ATAU TIDUR DI SINI?! HALOOO, ANAKNYA PAK CHANGWOOK??? APAKAH NYAWANYA MASIH ADA?! ATAU BUTUH KERANDA SECEPATNYA???" Gue berusaha membangunkan dia. Bodo amat dibilang gak sopan, gue ngantuk dan mau pulang. Sekarang.

Gue menghela napas kesal dan menarik bantal yang menutupi wajahnya. Aduh, ganteng. EH, JANGAN SALAH FOKUS.

"Eng, bangun!" seru gue di dekat telinganya.

Voila! Dia mengerjapkan matanya dan langsung duduk karena kaget dengan jarak gue yang super dekat dengan wajahnya.

Gue melambaikan tangan di depan muka ngantuknya itu. "Misi, mau pulang atau enggak?"

Dia mengerjapkan matanya lagi. "Hah? Apa? Oh ya, ayo pulang. Tapi tunggu... lo siapa ya, btw?"

Haduhh, pakai acara amnesia lagi!

[]

hit the star if you enjoy it!

Alpas ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang