Kalila [3]

6K 607 10
                                    

"Saya turut bersimpati atas apa yang anda alami, sungguh."

Kalila memilin jarinya gugup, ia sudah menceritakan alasan mengapa ia membawa bayi ke kantor, dan juga alasan mengapa ia selalu menghindari untuk menghadiri pelatihan.

Ia tidak menemukan reaksi apapun dari pria didepannya selain hanya tatapan simpati, tidak ada kekesalan karena dirinya melanggar banyak peraturan.

Benar-benar atasan yang pengertian, seperti rumor yang beredar.

"Tapi sangat disayangkan, saya tetap tidak bisa merekomendasikan kamu untuk bekerja hanya karena simpati. Karena banyak alasan yang melarang saya melakukan itu."

Bryan tidak berbohong, ia cukup bersimpati memang tapi tidak mengalahkan logikanya yang hampir dua belas tahun berkecimpung di dunia bisnis. Membiarkan dirinya menurunkan surat rekomendasi dengan dalih simpati adalah kesalahan fatal.

Jadi Bryan bersikeras meyakinkan perempuan itu untuk pergi tanpa menimbulkan masalah seperti menuntut misalnya.

"Akan ada kompensasi. Tapi tidak banyak."

Kalila menunduk, 'tidak ada harapan lagi' batinnya.

"Jadi saya harap kamu tidak mengangkat kasus ini ke pengadilan ya Kalila."

"Tentu saja tidak Sir, saya tidak berani. Lagipula saya banyak melanggar peraturan perusahaan, seharusnya saya yang memohon agar tidak dituntut."

"Pasti berat bukan?"

Ucapan Bryan menimbulkan pertanyaan bagi Kalila. Melihat kebingungan terpampang jelas di wajah wanita itu ia kemudian menjelaskan.

"Teman saya juga memiliki seorang anak yang ia besarkan sendirian karena beberapa hal. Melihatnya setiap hari seperti itu membuat saya sedikit merasa takut menjadi orang tua." Jelasnya.

"Tidak terlalu Sir, hanya saja saya merasa bersalah karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk adik saya, dan saya harap Sir tidak perlu takut karena Sir memiliki segalanya." Kalila berkata jujur membayangkan ia hanya memiliki tiga mainan untuk Aby di rumah kontrakan mereka. Itupun ia beli setiap kali ada bonus dari lemburnya dan ia terpaksa harus berpuasa lebih sering agar menghemat makan untuk dirinya terkadang.

Gajinya lumayan tapi banyak tagihan yang harus ia bayar, sewa rumah, listrik, air, popok, belum lagi uang untuk nanny yang merawat Aby harian. Kalila tidak bisa membayangkan ia akan bekerja dimana nantinya untuk menutupi semua itu. Pikirannya kacau.

"Ok, sampai disini ada pertanyaan?" Pria didepannya menghentikan topik aneh mereka menyadarkan Kalila yang tenggelam pada pemikiran nya sendiri.

"Tidak Sir, terima kasih telah memberikan saya kesempatan ini." Ucapnya tulus.

"Saya yang seharusnya berterima kasih padamu telah berusaha di perusahaan ini."

Dengan begitu berakhir lah semuanya, Kalila meninggalkan ruangan itu dengan menyembunyikan tangannya yang gemetar di saku jas hitamnya yang sering ia pakai. Ia sungguh khawatir.

"Hei, are you okay?" Helen merasa kasihan pada teman satu kantor nya itu. Mereka dulu sama-sama anak magang dan sekarang mereka harus menempuh jalan yang berbeda. Melihat kondisi Kalila yang tidak baik membuat ia bersimpati.

"Aku baik-baik saja hanya sedikit pusing." Kilahnya padahal tangannya belum berhenti gemetar.

"Apa perlu aku Carikan kerja?" Tawar wanita itu membuat Kalila sedikit bersemangat.

"Benarkah?" Ia memperlihatkan harapan di wajahnya.

"Akan aku coba, asal kamu jangan terlalu banyak pikiran dan berakhir sakit. " Helen benar-benar khawatir.

Kalila mengangguk lega.

Mereka kembali berbaris lagi untuk mengantarkan kepergian atasan mereka itu. Kalila masih menyembunyikan tangannya dengan senyuman lebar di bibirnya.

"Terima kasih atas kerja keras kalian, dalam waktu dua hari akan ada surel yang dikirim pada email kalian yang sudah saya terima tadi. Dan untuk Kalila kompensasi nya akan dikirim secepatnya." Bryan berujar dengan menatap mereka satu persatu hingga matanya tertuju pada Kalila.

Wanita itu terus tersenyum seolah ia tidak kehilangan pekerjaannya dan raut wajah itu membuat Bryan sedikit terusik.

"Iya, Sir." Mereka menjawab serentak dan mengantarkan kepergian orang-orang itu.

Kini tinggallah mereka yang mulai sibuk menyusun barang masing-masing setelah mendapat instruksi dari Mrs.Theodore.

Sehabis berkemas mereka di kumpulkan kembali, karena Mrs.Theodore akan mengumumkan pemberitahuan terakhir kepada mereka sebagai hubungan bawahan dan atasan.

"Saya sangat menikmati bekerja dengan kalian, apapun yang sudah kita lewati kalian adalah bawahan terbaik yang pernah saya miliki." Wanita tambun itu menyeka sudut matanya diikuti isakan teman wanita lain Kalila.

"Kami juga manager, anda adalah manager terbaik yang pernah kami miliki." Aku wanita itu.

Theodore semakin terenyuh. "Terima kasih. Untuk terakhir kalinya maukah kalian makan malam bersama saya lagi?" Tanyanya girang.

Kalila berpikir sejenak, sudah hampir dua tahun ia bekerja ia belum pernah ikut makan malam bersama perusahaan, dulu ketika bersama orang tuanya ia harus membantu ibunya yang hamil. Sekarang ketika ada ia dan Aby ia harus merawat adiknya. Tapi untuk kali ini ia ingin ikut. Meskipun uangnya sisa sedikit ia akan menggunakan nya untuk perpisahan ini. Kalila bertekad.

"Kamu tidak perlu ikut Kalila. Karena mungkin kami akan pulang terlalu dini hari. Sebaiknya kamu bawa saja langsung Adikmu pulang." Ucapan Theodore membuat Kalila tersadar kembali.

Ia tidak dalam kondisi bisa menikmati apapun.

"Baik buk, terima kasih." Ucapnya mengikuti semua rekannya yang sudah mulai bepergian.

Ia menggendong Aby dengan hipseat ransel dipunggunya kemudian membawa kardus besar tempat dimana barang-barang itu yang harus ia bawa pulang.

Mereka berjalan perlahan di pinggiran jalanan, rumahnya tidak dekat juga tidak terlalu jauh dan ia memutuskan untuk berjalan. Biasanya ia bisa melakukan itu jika hanya menggendong Aby namun ia sedikit kewalahan dengan kardus besarnya.

"Namananamaaannna..," Aby berceloteh dengan memegangi mainannya.

"Yah, kali ini Aby harus digendong belakang ya." Balas Kalila seolah paham.

Mereka terlalu sibuk dengan dunia mereka hingga tidak sadar telah menjadi bahan perhatian seorang pria dari dalam mobilnya yang sebenarnya belum pergi jauh dan singgah di kafe sekitar menyuruh bawahannya membeli secangkir kopi.

Pria itu memperhatikan dengan seksama bagaimana bisa wanita itu membawa beban yang cukup jauh dari ukuran tubuhnya. Bryan bisa menebak dibalik dress longgar wanita yang ia kenal Kalila itu jika ukuran tubuhnya tidak besar dan juga tidak kecil tapi seukuran wanita biasanya hanya saja pipi wanita itu sedikit menggembul membuatnya terlihat berisi.

"Ini pak kopinya. " Ucap sekertaris nya menawarkan kopi hitam yang ia pesan.

Bryan mengambilnya setelah mengalihkan perhatiannya dari sosok wanita itu. Ia merasa jika bukan urusannya melihat apapun yang dilakukan wanita itu.

"Kalau begitu, ayo jalan."

"AAAAA!!!" Baru saja ia menyelesaikan kalimatnya tangisan anak kecil yang ia kenal adalah adik Kalila mengalihkan perhatiannya.

Ia melihat jika wanita itu kelabakan menerima perhatian orang yang berlalu lalang. Terlihat jelas juga ia kesulitan menurunkan kotak besarnya kemudian melepaskan gendongan adiknya dan memindahkannya ke depan. Cukup ribet.

Melihat itu Bryan gerah sendiri. Melihat betapa rumitnya kondisi wanita yang menggendong bayi dan kardus besar itu. Kalila terlihat sibuk mendiamkan adiknya yang masih ribut.

"Kita akan pergi pak." PA nya menyadarkan Bryan.

"Jangan dulu Thomas! Kita ke sana sebentar."

PA yang bernama Thomas itu mengikuti arah telunjuk atasannya yang mengarah pada wanita yang baru saja mereka PHK.

Tidak mau banyak bertanya karena ia tahu Bryan tidak suka maka ia hanya mengangguk saja menjalankan mobilnya menuju wanita itu.

KALILA [END]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu