Kalila [10]

4.8K 559 3
                                    

Tiga tahun kemudian

"Aby!! Apa masih lama?!" Kalila berulang kali memeriksa jam tangan nya yang menunjukkan pukul setengah tujuh, mereka harus berangkat sekarang sebelum bus sekolah adiknya lewat.

"Aku datang sis!" Aby berlari dengan cepat keluar dari kamarnya.

Kalila tidak bisa marah karena Aby melakukan semuanya sendiri meski usianya masih enam tahun. Mereka bergandengan tangan sedikit berlari keluar dari apartemen kecil yang mampu Kalila sewa untuk tinggal berdua.

Mereka memang sudah tidak tinggal dengan pamannya lagi sejak setahun yang lalu, mereka juga sudah kembali ke London setahun belakangan karena Kalila mendapat tawaran pekerjaan dari Karin teman magangnya dulu. Pekerjaannya tidak jauh berbeda dari jenis pekerjaan yang ia lakukan dulu. Sebagai karyawan properti kecil.

Kalila melambai kearah adiknya yang sudah pergi melesat jauh dengan bus sekolah berwarna kuning itu kini giliran dirinya menunggu taksi untuk pergi bekerja.

Sepuluh menit akhirnya ia turun di depan kantor yang cukup besar dibanding perusaan dulu ia bekerja. Maklum perusahaan ini adalah pusat sedang dulu adalah cabang. Perusahaan nya berbeda tidak sama. Lagipula Kalila tidak mungkin punya muka bekerja pada Bryan lagi. Atau OF group.

Teringat pria itu, Kalila teringat Selena juga Tante Caroline. Terakhir kali mereka saling tukar kabar adalah dua tahun lalu sebelum Kalila kehilangan ponslenya dan semua nomor yang ada disana.

Sekarang ia tidak tahu apakah ia harus mendatangi mereka, takutnya mereka canggung dan lupa. Kalila bisa apa. Akhirnya ia biarkan saja semuanya mengalir saja. Lagipula fase kehidupan memang begitu hilang dan berganti. Ia sudah biasa. Mungkin mereka juga.

"Kalila, hari ini kamu ikut saya inspeksi lapangan ya." Ujar GM mereka yang memang selalu membawa karyawan berbeda-beda setiap turun lapangan. Sebagai pelatihan katanya.

Dan Kalila belum siap.

Inspeksi lapangan berarti jam kerja harus bertambah dan ia belum memberitahu Aby. Aby punya kunci sendiri tapi ia merasa bersalah jika adiknya sendirian.

"Baik nona Laura." Karyawan tidak boleh menolak. Dan kemudian ia mengirim pesan singkat pada guru kelas Aby untuk menyampaikan pesannya.

***

Bryan O'connell

"Tidak apa, mungkin lain kali." Bryan mengusap bahu Selena yang duduk di sebelahnya. Mereka baru saja melakukan check up bulanan untuk sebuah program anak. Sebenarnya Bryan tidak masalah karena menurutnya kapanpun ia diberi penerus saat itu juga Bryan siap menjadi ayah. Tapi istrinya itu cukup khawatir karena pernikahan mereka sudah memasuki tahun ketiga ditambah lagi Selena selalu mengaitkan usianya yang sudah memasuki kepala tiga.

Wanita itu hanya diam, ia kembali kecewa lagi seperti yang sudah-sudah, padahal ia sangat berharap bulan ini berhasil. Mengingat jika pola hidupnya benar-benar berubah. Tapi anak adalah urusan Tuhan dan Selena selalu meminta.

"Sorry." Cicitnya memegang tangan besar Bryan. Merasa bersalah terutama ibu pria itu yang sepertinya sangat menanti. Bukannya Caroline meminta atau menagih tapi mengingat jika tujuan mereka menikah adalah cucu maka Selena semakin was-was.

"Sudahlah, kita masih punya banyak waktu. Nikmati saja." Bryan terdengar santai.

Selena mengangguk lemah, ia kehilangan semangat.

"Hari ini Christopher mengajak kita makan siang bersama. Dia ingin mengenalkan kekasihnya." Bryan mengubah topik.

"Siang ini?" Selena merasa bersalah.

"Ada urusan?" Bryan memastikan.

"Sebenarnya aku bisa tapi tidak bisa terlalu lama itupun harus dekat dengan perusahaan." Selena memang sudah bekerja di tempat lain semenjak mereka menikah untuk menjaga profesionalisme katanya. Padahal Bryan tidak keberatan istrinya itu menjadi sekertaris nya.

"Aku akan memintanya untuk makan siang di kafe sebelah kantor kamu." Bryan memberi solusi. Dan Selena selalu merepotkan suaminya itu.

"Baiklah."

***

Kalila benci inspeksi, meski tak sesulit di perusahaan OF Group dulu tapi fasilitas mereka saat ini tidak memadai. OF group selalu memberikan akomodasi sedangkan perusahaan nya sekarang membuatnya harus jalan kaki.

Sebenarnya kegiatan utama sudah selesai hanya saja nona Laura memintanya membelikan ice kopi di kafe sebelah perusahaan dimana mereka sedang melakukan inspeksi. Perusahaan itu bukan cabang melainkan mitra dan mereka ingin memantau perkembangan projek kerjasama.

Kalila berjalan malas ditengah terik matahari musim panas. Ini sudah jam satu apa GM nya itu tidak kepikiran memberinya makan siang. Ia lapar.

Dengan malas ia membuka pintu kafe itu sesekali menikmati hembusan AC yang menyejukkan. Ia mengambil antrian untuk memesan. Karena terlalu lelah ia memilih duduk saja memejamkan matanya.

"Kalila?"

Namanya dipanggil dengan suara yang tidak asing. Kalila membuka matanya menemukan sosok Selena berdiri tepat didepannya. Ia terbelalak kaget dan langsung berdiri.

"Selena."

Belum selesai ia bertanya Selena sudah memeluknya erat. Mereka bahkan menjadi bahan perhatian.

"Sebaiknya kita mengambil meja." Selena yang akhir merasa risih menarik tangan wanita itu pada meja kosong dengan kursi empat.

Mereka diam cukup lama karena disibukkan memesan minuman. Selena sempat menawarkan makan tapi Kalila berkata jujur jika ia hanya melakukan tugas jadi tidak bisa lama-lama.

"Kamu tambah cantik." Puji Selena menatap lekat wajah Kalila.

Kalila tersenyum. Wanita didepannya itu masih saja suka berterus terang begitu saja. "Kamu juga." Ia juga tak bohong. Selena semakin bersinar.

"Bagaimana kabar Aby?" Nama adiknya muncul.

"Dia baik. Tumbuh dengan baik." Tiba-tiba Kalila teringat jika ia pergi ketika Selena sedang di Hawai. "Aku minta maaf karena pergi begitu saja." Akunya menunduk.

Selena memegang tangan Kalila. "Aku tahu kamu memiliki alasan dan itu pasti yang terbaik." Selena benar-benar pengertian.

"Aby sangat ketergantungan dengan kalian butuh setahun lebih bagiku untuk membiasakan nya." Akunya.

"Apa dia masih ingat aku?" Selena terlihat berharap.

"Masih, dia kadang bertanya. Hanya saja aku tidak bisa menghubungi, ponselku hilang." Ia mengaku sebelum Selena bertanya.

"Kalau begitu berikan nomormu." Selena paham dan langsung memberikan saran.

Mereka bertukar nomor kemudian saling bercakap-cakap beberapa menit lamanya melepas rindu. Selena banyak berbagi cerita juga curhat mengenai isi hatinya. Kalila tidak keberatan tapi yang ia dengar kebanyakan adalah keluhan wanita itu masalah anak. Ia prihatin. Masih segar diingatan Kalila bayang-bayang Tante Caroline yang menginginkan cucu. Ia sangat berharap yang terbaik pada keluarga mereka.

Drrttt drrttt

Ponsel kalia berbunyi, ia tahu itu siapa dan sadar jika ini hampir dua puluh menit mereka berbincang.

"Maaf sel, aku harus pergi atasan mencariku." Ia mengaku , mengambil tasnya dan menenteng ice coffe yang baru datang ia pesan tadi. Memeluk wanita itu sekilas dan akhirnya ia melesat pergi.

Di perjalan keluarnya dari kafe matanya menangkap sosok Bryan yang masuk diikuti adik pria itu dan wanita yang tak dikenal. Ia tidak mau menyapa dan mungkin pia itu juga sudah lupa padanya. Akhirnya Kalila berjalan begitu saja berusaha mengabaikan meski ia menangkap jika Bryan menoleh kearahnya dan juga semp memangat berhenti.

Ia tidak ingin berbincang-bincang dengan mantan majikannya itu. Canggung.

"Itu Kalila?" Bryan bertanya pada istrinya yang langsung mengangguk.

"Kalian tidak berbincang?" Selena memang tidak melihat keluar karena memeriksa ponselnya tadi.

"Dia mungkin tidak melihatku." Ia memberi alasan.

KALILA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang