Kalila [13]

4.6K 540 2
                                    

Usut punya usut ternyata penyebab Bryan marah adalah karena Selena mengatakan pada pria itu untuk menjauh dulu karena Selena sedang mengalami masa-masa mengidam. Ia Tidak suka dengan baunya Bryan. Darimana dirinya tahu? Kalila tahu karena Selena menghubungi nomornya beberapa saat setelah ia bertemu dengan Bryan juga setelah mendapatkan delikan pria itu.

Ia tidak menceritakan kondisi mantan atasannya itu pada istrinya karena ia menyimpulkan bahwa itu hanya salah paham jadi ia biarkan saja. Tapi berteman dengan Selena memang harus banyak bersabar. Wanita itu sedikit maunya tapi jika menginginkan pertolongan maka Kalila harus menuruti seperti saat ini. Wanita itu meminta dirinya menjelaskan kondisinya pada Bryan.

Selena tidak  tidak mampu katanya karena mendengar suara suaminya saja ia tidak tahan. Langsung mual. Kalila hanya bisa geleng-geleng kepala. Anak mereka memang unik.

Setelah mematikan panggilannya Kalila bergerak dari kursinya, merasa jika Caroline belum berniat mengembalikan Aby ia memilih menuntaskan keinginan Selena karena wanita itu tadi terdengar frustasi.

Ia berjalan menuju kamar atau ruang dimana biasanya Bryan berada. Ia mengetuknya tiga kali berharap dalam hati pria itu sudah lebih baik.

"Masuk." Suara baritone menyahut berat dari dalam sana.

Kalila memutar kenop pintu kamar itu terbuka dan menampilkan sosok Bryan yang sedang mengerjakan sesuatu di meja kerjanya. Sebenarnya Kalila bukan tipe yang suka berbincang terutama dengan lelaki tapi ia memiliki janji yang harus dia tepati.

"Ada apa Kalila?" Bryan mengerutkan keningnya. Pria itu lupa jika ia sebenarnya sempat kesal dengannya dan itu bagus. Kalila tidak sungkan lagi.

"Em, begini Sir." Ia menautkan kedua tangannya gugup. Belum pernah ia jadi juru bicara begini.

"Iya?"

"Selena," Ia semakin gugup ketika wajah Bryan kembali datar. "Selena itu sedang mengalami masa-masa mengidam dimana dia tidak bisa berada didekat anda. Jadi anda sebaiknya tidak salah paham dengan sikapnya yang menjauhi anda. Dia tidak bermaksud tapi keadaannya tidak bisa dipaksakan." Ia menjelaskan sekaligus dengan satu tarikan nafas. Matanya tak mampu menyelam di pelupuk Bryan.

"Apa Selena yang menyuruhmu mengatakan hal itu?" Bryan memang termasuk pria yang mudah. pria itu mudah tersinggung juga mudah reda rasa marahnya.

"Iya, sir." Kalila menjawab lugas.

Pria didepannya menarik nafas panjang. Ia sama sekali tidak tahu jika alasan istrinya bersikap begitu adalah karena anak mereka. Ia mengira Selena sedang merencanakan sesuatu dan mencoba meninggalkan nya. Bryan masih belum mempercayai wanita manapun.

Lagipula Bryan bukan pembaca pikiran ia tidak akan mengerti jika Selena tidak bercerita. Dan wanita itu setiap kali ditanyai tentang kebiasaannya belakangan yang suka menjauh  dia malah pergi kabur begitu saja ke rumah orang tuanya. Jadilah Bryan kesal juga.

Dan ketika seperti ini maka Bryan kini yang merasa bersalah. Ia bahkan sempat mengangkat suaranya pada istrinya itu juga pada Kalila tadi.

Ia melirik Kalila yang sepertinya tidak nyaman berdua dengannya.

"Terima kasih." Ia berujar menyampaikan isi hatinya.

Kalila menarik sudut bibirnya lega. Akhirnya masalahnya selesai juga. "Sama-sama Sir."

.

.

***

.

.
"Oeekk oeekk."

Suara tangisan bayi membahana di rumah sakit itu tepat disebelah ranjang dimana sang ibu kini tertidur pulas. Caroline langsung mengangkat cucu perempuan kesayangan nya itu untuk menenangkan takut Selena terganggu. Wanita itu sudah bekerja keras memang.

Menimang-nimang cucu pertamanya dengan sayang dan terus menerus memuji wajahnya yang menggemaskan. Sungguh Caroline sangat bahagia. Rasanya ia tidak ingin apapun lagi. Keinginannya sudah tercapai semua.

"Dia bangun mom?" Bryan datang dengan pakaian bayinya yang ia habis jemput.

Caroline mengangguk takut mengeluarkan suara. Melihat ibunya itu tidak penah melepaskan senyumnya membuat Bryan lega. Ia juga sama tatkala menggendong putrinya itu tadi untuk pertama kali bahkan hingga sekarang. Rasanya masih sulit membayangkan dirinya menjadi seorang ayah.

Selian khawatir ia juga bangga. Khawatir jika ia tidak mampu menjadi ayah yang baik juga bangga akhirnya ia memiliki sesuatu yang di sombong kan pada teman-temannya. Ia sudah mengabari Dimitri juga Matthew dan tentu saja teman-temannya itu turut bahagia.

"Grandma!" Suara anak kecil yang muncul membuka pintu tiba-tiba membuat bayi mungil itu yang tadi sempat tertidur kini bangun lagi.

"Ssttt.. Aby, adik bayinya sedang tidur." Kalila langsung membungkam mulut adiknya ketika melihat Tante Caroline memberi kode agar tidak berisik.

"Biar saja mom, lagipula Avery baru saja bangun." Bryan menyela dikesibukannya menyusun pakaian bayi itu.

"Iya juga." Caroline menyetujui. "Aby mau lihat Avery?" Tanyanya pada bocah yang langsung mengangguk antusias itu.

"Namanya Avery apa Sir?" Kalila berdiri tidak jauh dari Bryan yang masih sibuk. "Biar saya saja." Kemudin ia menawarkan bantuan yang tidak ditolak Bryan karena ia juga tidak tahu caranya menyusun pakaian bayi.

"Avery Claire O'connell." Bryan menjawab dengan tatapan lembut pada anaknya yang kini sudah berada digendongan kaku Aby dibawah pantauan ibunya itu.

Melihat bagaimana ekspresi Bryan membuat Kalila turut bahagia. Keluarga Mereka terlihat sempurna dan sangat bahagia. Ia kembali iri.

Kapan ia bisa punya anaknya sendiri?

Kalila menghempas jauh-jauh pemikiran itu. Ia tidak boleh goyah. Matanya menangkap sosok Aby yang terlihat bahagia dnegan gerakan halus bayi mungil di pangkuannya.

Ia turut bahagia melihat adiknya itu begitu sangat menyukai sosok bayi kecil itu. Meski awalnya ia sangat khawatir jika Aby merasa mendapat saingan tapi sepertinya adiknya berjiwa besar. Lagipula ia selalu menanamkan jika keluarga O'connell bukanlah keluarga mereka. Hanya teman dan Aby mulai paham diusianya yang memasuki enam tahun.

Rasanya baru kemarin adiknya itu masih bayi dan sekarang sudah besar saja. Kalila tersenyum pahit merasa jika adiknya itu bisa kapan saja meninggalkan dirinya sendirian untuk pergi sekolah.

Ia juga merasa ia seperti seorang ibu saja.

***

Diperjalanan pulang mereka, Aby tidak berhenti menceritakan betapa senangnya ia bisa menggendong adik kecil yang bernama Avery itu.

"Sis, apa aku tidak akan punya adik lagi?" Aby bertanya, pertanyaan yang belum pernah Kalila dengar.

Ia bingung hendak menjawab apa.

"Tentu saja tidak, aku kan tidak punya mom." Aby menjawab sendiri.

Bagai disambar petir Kalila mendengar ucapan diknya itu. Ia langsung menarik Aby mendekati dirinya. Tak mau adiknya itu terhanyut dalam kesedihannya.

"Siapa bilang?"

Aby menatap kakaknya. "Teman di sekolah ku." Ia menjawab jujur. Aby memang sering di singgung mengenai orang tua oleh teman sebangkunya. Apalagi jika ada tugas atau kegiatan yang melibatkan ayah atau ibu.

Mereka akan mempertanyakan pada Aby. Begitulah memang pergaulan anak kecil. Mereka belum tahu makna tenggang rasa.

"Kita punya mom, By." Kalila memeluk adiknya erat.

"Yah, I know. Aku juga bilang pada mereka kalau mom is dead." Mendengar langsung dari mulut Aby rasanya membuka lebar lagi luka Kalila yang perlahan ia tutup.

Ia tersadar, seberapa banyak pun waktu yang ia lewati dirinya tetap merindukan keluarganya dan ia kesepian.

KALILA [END]Where stories live. Discover now