29

128 5 0
                                    

Rose

Daniel meneleponku larut malam, menanyakan apakah aku ingin pergi menghabiskan hari bersamanya dengan Ibu, aku ragu. Terutama setelah mimpi buruk itu. Setelah mendengar begitu banyak bujukan Daniel, aku memutuskan untuk bertemu dengan Ibu. Aku telah dijemput tepat dalam satu jam setelah dia menelponku, tapi aku masih terbungkus di tubuh Luca yang hangat, kaki kami terjalin saat aku berbaring di dadanya.

"Aku benar-benar harus pergi, jika Daniel melihatku di sini, dia akan marah." Ujar Luca seraya duduk di sikunya, rambutnya menutupi matanya ketika dia melihatku saat aku menelpon kakakku.

"Aku tidak ingin pergi." Aku menghela nafas lalu berguling di punggungku. Luca mencondongkan tubuhnya ke bawah, dan menciumku dengan cepat sebelum berdiri, aku melihat tubuh telanjangnya berjalan ke arah tasnya di lantai.

"Apa yang akan kau lakukan hari ini?" Tanyaku, beranjak dari ranjang dan bergegas mengambil pakaian dalamku di laci.

"Aku harus menemui Nick, dan bicara dengannya tentang segalanya." Jawabnya. Tubuhnya muncul di belakangku saat aku sedang menyelinap masuk ke celana dalam pink-ku, tangannya membungkus pinggangku lalu menarikku dekat dengannya.

"Semoga beruntung, untuk ukuran sahabat, dia adalah ular." Kataku padanya dengan jujur, tubuhnya bergetar dari belakangku.

"Itulah tepatnya mengapa aku harus menemuinya." Dia tertawa di belakangku.

Aku keluar dari cengkeramannya yang kuat dan siap berpakaian sendiri. Mengenakan skinny jeans hitamku, kaus warna kuning mustard dan sepatu black vans. Aku memutuskan untuk meluruskan rambutku dan merias wajahku seperti biasa, Luca duduk di ranjang tepat di belakangku. Matanya terpaku di teleponnya sebelum beralih ke arahku, begitu seterusnya.

"Aku harus pergi, sayang." Aku berbalik menghadapnya, tasnya di pundaknya ketika dia berdiri di dekat pintu kamarku. Aku menghampirinya dan menciumnya dengan keras, diam-diam tidak ingin membiarkannya pergi.

"Beritahu aku kapan kau pulang, cantik." Ujarnya lagi, lalu menciumku untuk terakhir kalinya sebelum membuka pintu kamarku dan berjalan keluar.

Aku kembali ke cermin kamarku setelah mendengar pintu depan ditutup, kulitku terlihat lebih cerah dari biasanya dan pipiku terasa kaku karena terus tersenyum. Aku bahagia, sangat bahagia.

——————————————

"Kenapa kau terlihat sangat ceria?" Kakakku bertanya padaku.

"Apakah seorang gadis tidak diizinkan untuk tersenyum?" Aku mengangkat alis, aku melihat keluar jendela mobil, berharap dia tidak menanyaiku lagi. Ada begitu banyak hal yang aku sembunyikan darinya, aku benci itu.

"Bagus, kurasa." Dia menjawab, aku menatap kembali padanya. Mata birunya berkilau di siang hari yang cerah, rambutnya menutupi wajahnya.

"Kau benar-benar harus potong rambut." Aku meraih kepalanya dan mengacak-acak rambutnya, dia menepis tanganku sebelum meletakkan kedua tangan kembali ke roda kemudi.

Akhirnya setelah sampai dan parkir, Ibu melihat kami saat dia membuka pintu depan, lengannya terbuka lebar saat aku berlari ke arahnya. Aroma begitu akrab darinya sehingga aku memeluknya lebih erat, lalu dia melepasnya dan melingkarkan tangannya di pinggang Daniel.

"Kuharap kalian lapar, aku membuat telur orak-arik." Tanya Ibu seraya tersenyum pada kami, aku menganggukkan kepalaku dengan gembira.

Telur buatan Ibuku sangat enak dan siapa pun yang memakannya akan setuju. Kami melangkah ke dalam rumah besarnya yang bergaya Victoria, aku selalu bertanya-tanya apakah ini terasa seperti rumah baginya lagi. Dia pindah ke sini pada usia dua puluh lima dan melahirkan Daniel di kamar tidur lantai atas.

Delicious Rose (Indonesian Translation)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt