War Of Hormones | 2

6.6K 457 24
                                    

Tolong, tandai bagian yang typo...

Malam ini malam minggu. Dari jauh-jauh hari, Irna, Mama Ali telah berpesan pada Prilly untuk menginap di rumah Ali. Prilly yang awalnya menolak dengan alasan teman-temannya datang ke rumahnya pada akhirnya tak bisa menolak setelah mendengar suara Irna yang memohon padanya. Dia tak tega, apalagi setelah mengingat kebaikan Irna selama ini yang membiayai kebutuhannya dan meringankan beban keluarganya.

Saat ini, dia tengah duduk di kursi teras rumahnya, menunggu Ali datang menjemputnya dan membawanya ke rumah tunangannya itu. Di pangkuannya ada tas ransel yang berisi dua helai baju, dua celana kulot dan satu stel baju tidur. Di meja juga ada plastik berukuran besar berisi keripik puli, keripik yang terbuat dari tepung terigu dan tepung beras yang diberi obat pewarna untuk kerupuk hingga berwarna kuning agak kecokelatan. Keripik yang diproduksi oleh tantenya sendiri dan cukup terkenal di daerahnya.

Memangku dagu, dia menatap langit malam yang kelam. Tatapannya menerawang jauh. Ada banyak beban di pikirannya yang tentu saja hanya dia yang tahu dan rasakan, tak ada yang tahu apa yang ada di pikirannya karena dia menjadi tertutup sejak ayahnya diberhentikan dari pekerjaannya. Tak ada yang tahu setiap malam, sebelum tidur dia menangis dan membayangkan kehidupan yang dia impikan. Tak ada yang tahu seperti apa dirinya di depan orang-orang dan di belakang orang-orang.

Tanpa sadar, air matanya menetes dan dengan cepat dia menghapus air matanya. Seharusnya dia tak menitikkan air mata karena semua yang terjadi merupakan jalan hidupnya. Namun yang menyakitkan baginya adalah, ketika mendengar ayahnya yang dipecat. Wajah murung dan wajah frustasi ayahnya. Sekelebat bayangan di masa kecil menari-nari di ingatan, dimana setiap malam minggu ayahnya mengajaknya ke supermarket dan membelikannya sekotak es krim yang sekiranya cukup untuk satu minggu hingga membeli makanan ringan untuk dirinya agar betah di rumah dan tak bermain ke luar rumah. Masa kecilnya memang indah. Dimana dia menjadi anak bungsu yang disayang oleh kedua orangtuanya serta Kakak laki-laki satu-satunya yang dia miliki. Namun itu semua tak berlangsung lama, bahkan terkesan singkat dan semua hanya karena ayahnya yang dipecat dari pekerjaannya. Tak ada lagi tawa yang setiap malamnya mengisi ruang tengah. Yang ada, hanya suara televisi yang menyala dan sayup-sayup suara merdu Kakaknya yang melantunkan ayat-ayat dari kitab suci Al-Qur'an. Semua berubah dan dia merasakan kehampaan dalam hidupnya.

Satu bulan lebih tujuh hari ayahnya menjadi pengangguran. Berdiam diri di rumah setiap harinya. Sedangkan ibunya, dari matahari terbit dari timur, ibunya itu sibuk di dapur hingga setelah dia berangkat sekolah, ibunya mengayuh sepeda menuju tempat yang menjadi mata pencaharian ibunya, terminal. Dia memang terlahir dari keluarga tak mampu. Dimana ayahnya dulu menjadi kuli pengangkut barang dan ibunya yang menjadi pedagang asongan di terminal. Sedangkan kakaknya, sebelum ayahnya menjadi pengangguran, kakak laki-lakinya itu berprofesi sebagai guru matematika di SMP swasta dengan jabatan honorer dan sekarang rela meninggalkan profesi yang sangat dicintai Kakaknya itu dengan menjadi sebagai pengurus asuransi di salah satu bank yang terletak di kota besar, jauh dari tempat tinggal. Sedangkan dirinya hanyalah remaja yang baru menduduki kelas 12 di salah satu Sekolah Kejuruan.

Hidupnya rumit. Dia bertunangan disaat usianya 18 tahun, mungkin beberapa bulan lagi menginjak usia 19 tahun. Setidaknya, dia berusaha menerima semua yang terjadi padanya. Berusaha keras membuka hatinya untuk tunangan tampannya, Ali. Meski dia tak tahu apakah tunangannya itu berusaha sepertinya apa tidak. Yang jelas, dia bersyukur karena Ali terlihat cuek dan terkesan tak perduli, terlihat menerima keadaan.

Menghela nafas panjang yang terasa sesak di dada, dia menatap layar ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Tanpa sadar dia mendengkus. Demi apapun, dia kesal karena sejak dua puluh menit yang lalu Ali mengiriminya pesan jika tunangannya itu berada dalam perjalanan menuju rumahnya. Tapi apa? Dua puluh menit berlalu tunangan tampannya itu tak kunjung tiba. Tidak tahukah tunangannya itu jika dia paling tidak suka menunggu lama? Dia bukanlah seorang remaja yang memiliki stok kesabaran banyak, dia hanya remaja yang berusaha sabar meski kenyataan tanpa henti membuat kesabaran yang dia miliki kian menipis dan terkesan membuatnya hancur secara perlahan.

War Of HormonesOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz