War Of Hormones | 19

5.2K 494 34
                                    

Tolong, tandai bagian yang typo...

Sejak kejadian beberapa menit lalu yang sukses membuat jantungnya nyaris berhenti berdetak, Prilly tak membuka suara sama sekali meskipun Irna mencoba mencairkan suasana dengan cara mengajaknya mengobrol dan menanyakan kapan LSP serta Ujian Nasional. Dia tetap bungkam karena demi apapun, dia masih shock karena kejadian beberapa menit lalu. Ali...lelaki itu...bagaimana bisa?

Argh! Rasanya kepalanya ingin pecah mengingat kejadian saat dia terbangun dari tidur nyenyaknya. Dan satu lagi, kenapa dia tidak terbangun ketika Ali menggendongnya dan memindahkannya ke bangsal lelaki itu? Apa karena kelelahan membuatnya tertidur dengan pulas?

"Gak usah tegang, gue gak apa-apain lo semalam."

Prilly menatap ke sumber suara dan mendapati Ali yang mengemasi pakaiannya ke dalam tas ransel hitam. Menoleh sekitar, dia mendapati Irna dan suaminya mengemasi barang-barang yang dibawa dari rumah. Berpikir sejenak, akhirnya dia mendekati Irna ketika melihat wanita paruh baya itu melipat tikar. Dia membantu Irna mengikat tikar dan menyerahkannya pada papa Ali yang katanya akan dibawa ke mobil.

"Tante, Ali boleh pulang?"

Menurutnya, ini merupakan pertanyaan terbodoh yang keluar dari mulutnya. Tapi tak ada cara lain selain bersikap bodoh guna menghindari suasana canggung yang tercipta antara dirinya dan Ali.

"Iya Prill, Ali sudah boleh pulang. Ini semua berkat kamu."

Dia terusik mendengar ucapan Irna. Kenapa karena dirinya? Dia bukan dokter dan bukan dukun. Dia juga datang ke sini tidak membawa obat-obatan yang ampuh untuk menyembuhkan orang sakit. Lalu...apa?

"Sudah seharusnya Ali sembuh, tan. Jangan sangkut pautkan segala apapun tentang Ali dengan Prilly. Kami tak lagi terikat dan jangan membuat Prilly berada di posisi yang membingungkan."

Entah mendapat keberanian darimana dia melontarkan kalimat panjang yang mampu membuat Irna menghentikan aktivitasnya dan menatapnya sendu. Dia memalingkan wajahnya guna menghindari tatapan Irna yang membuatnya merasa menjadi orang tak berperasaan.

Tiba-tiba, Irna menggenggam tangannya dan meremasnya pelan. Sebelum dia membuka suara, Irna lebih dulu menyela.

"Maaf. Tante tidak bermaksud membuatmu seperti itu. Tante hanya ingin silatuhrami tetap terjalin, itu saja."

Menghela nafas panjang, dia melepas genggaman Irna dan menatap Irna dengan senyum tipis.

"Tante gak salah. Yang tante lakukan memang benar, namun cara tante yang salah."

"Maaf, Nak."

Prilly menggeleng dan memegang kedua pundak Irna.

"Tante gak salah. Seharusnya Prilly yang minta maaf ke tante karena secara gak langsung Prilly udah gak sopan sama tante dengan cara negur tante. Bagaimanapun juga, tante dianggap orang tua Prilly sendiri."

Irna menitikkan air matanya. Tak mampu berkata-kata atas kebaikan Prilly. Rasanya tak rela jika gadis di hadapannya ini tidak lagi menjadi bagian dari keluarganya.

"Kamu...."

"Mama masih mau di sini atau mau kami tinggal?"

Ucapan Irna terpotong oleh suara ketus yang berasal dari belakang tubuh Prilly. Prilly menoleh ke sumber suara dan dia terkejut ketika keningnya membentur dada bidang Ali. Dia mendongak dan tatapan datar lelaki itu mengintimidasinya membuatnya kontan menjaga jarak.

"Jaga jarak takut pacar lo marah? Setia banget jadi cewek," cibir Ali yang langsung bergegas keluar diikutinya bersama Irna.

Selama perjalanan menuju kediaman Ali, dia memilih diam. Sama sekali tak berniat bergabung dalam obrolan seru keluarga Ali. Dia memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Dadanya sesak namun entah kenapa dia masih berada di dekat keluarga Ali meski dia tidak lagi menjadi bagian dari keluarga Ali.

War Of HormonesWhere stories live. Discover now