War Of Hormones | 13

4.2K 487 61
                                    

Tolong, tandai bagian yang typo...

Tiba di rumah sakit, tepat di depan ruangan Rita, Ali terus menggenggam tangan Prilly. Meski Prilly sempat bersikeras melepaskan genggamannya karena tangannya yang berkeringat, Ali tetap tak mendengarkan, justru semakin mengeratkan genggamannya. Tatapannya tertuju pada dua lelaki seusianya yang duduk di sampingnya dengan wajah pucat pasi menunggu kedatangan orang tua Rita.

Berbeda dengannya yang justru bersikap tenang. Seolah kedatangan orang tua Rita tak berpengaruh besar baginya. Menoleh ke arah Prilly, kontan satu tangannya yang tak menggenggam tangan Prilly mengusap pipi gadis itu. Sang empu menoleh ke arahnya dan tersenyum tipis. Senyuman yang tak sampai ke mata. Dan dia tau apa yang gadis itu rasakan.

Membungkuk, dia mendekatkan wajahnya pada wajah Prilly dan mengambil kecupan singkat di bibir ranum itu bertepatan dengan kedatangan orang tua Rita. Dia menghentikan ciumannya dan membenarkan posisi duduknya ketika Indartono, Papa Rita berdeham keras seolah tengah menyindirnya. Berusaha tetap bersikap tenang, dia menegakkan duduknya dengan tangan yang masih menggenggam tangan Prilly.

Genggaman semakin dia eratkan ketika merasakan tangan mungil itu terasa dingin. Dia melirik ke arah gadis itu yang menunduk dalam. Secara naluriah, dia melepas genggamannya dan beralih merangkul gadis itu hingga kepala Prilly bersandar pada dadanya. Mengabaikan keberadaan orang tua Rita, dia berbisik pada Prilly untuk tenang.

"Ehemmm."

Lagi. Deheman keras terdengar yang kali ini berasal dari Desi, Mama Rita. Menjauhkan mulutnya dari telinga Prilly, dia menegakkan duduknya dengan masih merangkul Prilly dan menenggelamkan wajah pias gadis itu ke dadanya.

Dia tak mengerti apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Yang jelas, melihat wajah murung gadis itu membuatnya tak suka. Serta tangan gadis itu yang terasa dingin membuatnya memiliki tekad untuk menghangatkannya. Seolah ingin melindungi namun bingung, atas dasar apa dia ingin melindungi gadis itu? Karena mereka tunangan? Ah, ini lelucon namanya.

Membuang jauh-jauh pikiran konyolnya, dia menfokuskan diri pada orang tua Rita yang berdiri angkuh di depan pintu ruangan yang ditempati Rita setelah melakukan operasi sesar.

"Anaknya laki-laki. Wajahnya tak jelas mirip dengan siapa karena lahir secara prematur," Mama Rita membuka suara yang langsung dia sambut dengan helaan nafas panjang.

Dia tak tahu harus berekspresi seperti apa. Jika dulu dia sangat berharap anak yang Rita lahirkan itu adalah anaknya, entah kenapa harapan yang sempat membumbung tinggi itu lenyap begitu saja. Apalagi setelah melihat raut sedih gadis yang dia peluk membuatnya seperti memiliki beban yang sangat berat. Sulit diangkat dan...rumit.

Dilihatnya Papa Rita mendekatinya dengan senyum lebar yang selalu lelaki tua itu berikan padanya sejak dia dan Rita tunangan. Ketika lelaki itu berdiri di depannya, tangan keriput itu terulur menepuk pundaknya.

"Papa yakin, disini kamu pemenangnya dan selamanya putri Papa menjadi milikmu," ujar Indartono dengan tatapan meyakinkan yang kontan membuat sebuah tangan meremas kuat baju bagian dadanya. Menunduk, dia melihat wajah Prilly dengan wajah basah menggeleng pelan. Menolak apa yang Indartono katakan.

Tersenyum tipis, dia membalas tatapan teduh itu dengan tatapan datar, "Tes DNA terlebih dahulu, baru langsung berkata demikian, Pa," jawabnya dengan nada suara tak bersahabat.

Lelaki tua di hadapannya itu hanya mengangguk dan melirik Prilly dengan senyum tipis sebelum berkata, "Gadis malang yang bodoh."

Ali geram. Dan yang pasti dia tak tahu kenapa dia langsung menggeram hanya karena ucapan Indartono yang seperti tengah merendahkan Prilly. Sesuatu dalam dirinya bergejolak tak terima.

War Of HormonesWhere stories live. Discover now