War Of Hormones | 15

4.9K 505 112
                                    

Tolong, tandai bagian yang typo...

Tersenyum getir, Prilly memasuki rumahnya dan mendapati ayahnya yang melamun di depan telivisi yang tak menyala dengan tatapan kosong. Dalam jarak sedekat ini, dia bisa melihat air mata mengering di sudut mata ayahnya.

Diperhatikan lekat-lekat sosok ayahnya, dia baru sadar sosok ayah yang dahulu begitu memanjakannya itu kini terlihat kurus dengan rambut yang memutih dipenuhi uban. Sosok yang dulu sering tersenyum bangga karena dia mendapat nilai tinggi dalam mata pelajaran Bahasa Inggris kini terlihat lebih sering murung dengan tatapan penuh kesedihan.

Untuk sesaat, dia tertegun. Sejak ayahnya berhenti bekerja, dia mengabaikan keberadaan ayahnya karena sosok yang dulu sering memberi uang jajan lebih padanya kini tak bisa apa-apa selain makan dan tidur di rumah. Lagi, untuk sesaat dia merasa bersalah dan berdosa karena sempat melupakan keberadaan ayahnya.

Terlalu sibuk dengan permasalahan hati, dia sampai lupa jika ayahnya yang dulu terlihat bugar kini terlihat lemah. Tak banyak yang dia tahu, yang jelas dia sering mendengarkan ibunya memarahi ayahnya yang hanya tidur dan makan tanpa ada niatan membersihkan rumah disaat ibunya banting tulang mengais rupiah.

Seharusnya, dia yang menjadi anak perempuan harus membersihkan rumah, mengambil alih pekerjaan ibunya dikala ibunya banting tulang mengais rupiah. Tapi, disini dia benar-benar tak berguna di keluarganya. Dia terbiasa dimanja dan tak pernah diajarkan layaknya perempuan yang kerjaannya di rumah.

Hidupnya bisa dikatakan enak, tidak seperti anak-anak tetangganya yang umurnya dibawahnya sudah tahu masak dan membersihkan rumah. Sedangkan dia, yang sudah remaja ini membersihkan rumah jika disuruh ibunya saja. Jika tak disuruh, maka kerjaannya hanya tidur, makan dan memainkan ponsel di kamar.

Apalah dia anak manja yang dulunya apa yang diingkan selalu terpenuhi mendadak disuruh mandiri karena keadaan. Keadaan yang membawanya bertemu dan dipersatukan dengan Ali. Keadaan yang membuatnya seperti ini, menangis karena cinta.

Menghapus air mata yang sialnya selalu jatuh tanpa dia inginkan, dia mendekati ayahnya dan mengecup punggung lelaki yang pertama kali mengecup keningnya itu. Di hadapan ayahnya, dia tersenyum cerah dan langsung memasuki kamar tanpa ada sesuatu yang berarti seperti bercerita hal apa saja yang dia dapat di sekolah hari ini. Tak ada, semua hambar dan menyisakan sesak di dadanya.

Setibanya di kamar, hal pertama yang dia lakukan adalah, meraih ponselnya dan menghidupkan data seluler. Merebahkan tubuh lelahnya, dia menatap nanar ponselnya yang lagi-lagi menerima pesan dari seseorang yang belakangan ini dia hindari. Devon.

Entah untuk yang ke berapa kalinya, Devon mengungkapkan perasaannya padanya. Meski dia tolak dan tegaskan jika dia bertunangan dengan Ali, Devon tetap tak menyerah, justru semakin gencar mendekatinya membuatnya takut. Takut jika takdir tak berpihak padanya.

Dalam pikirannya dipenuhi oleh dua lelaki, Ali dan Devon. Dua lelaki yang memiliki sifat bertolak belakang. Dua lelaki yang membuatnya berada di dua bersimpangan. Bersimpangan yang sama-sama membuatnya tertekan dan makan hati.

Devon yang berambisi mendapatkannya dan Ali yang susah ditebak, seolah membiarkannya begitu saja dan seolah mempertahankannya tanpa alasan. Membingungkan dan sukses menjungkir balikkan perasaannya. Menyakitkan namun bodohnya, dia bertahan di sisi Ali. Cinta, selucu ini bila sudah cinta buta. Tak berpikir jernih dan hanya berpikir caranya bertahan sampai akhir.

Menatap lurus ke atap kamar, dia menangis sesenggukan. Rasanya menyakitkan ketika mengingat kelakuan Ali padanya. Lelaki itu bersikeras ingin kembali pada Rita dan membuangnya begitu saja seolah dia tak ada harganya. Tak berpikir siapa yang berani bertahan dan menerima segala kekurangan lelaki itu.

War Of HormonesWhere stories live. Discover now