War Of Hormones | 5

4.6K 452 75
                                    

Tolong, tandai bagian yang typo...

Katakan saja dia kekanakan yang langsung meninggalkan Ali hanya karena pernyataan lelaki itu. Tapi demi apapun, tak ada yang tahu sesakit apa hatinya mendengar pernyataan tunangannya itu. Dia semakin merasa bersalah karena dirinya, Ali harus memutuskan mantan tunangannya. Dia juga tak enak pada Ali karena menerima pertunangan ini dan lebih tak enaknya lagi ketika biaya hidupnya ditanggung oleh orang tua Ali. Dia benar-benar tak enak dan...muak. Muak dengan semua yang terjadi dalam hidupnya.

Andai Ayahnya tak dipecat, mungkin....argh! Tidak seharusnya dia mengingat sesuatu yang menyakitkan itu. Bukankah dia bertekad untuk bertahan dengan semua yang terjadi untuk masa depannya? Lalu... kenapa dia justru seperti ini?! Terpuruk dalam kesendirian.

Menghapus kasar air matanya, dia menghentikan angkutan umum dan pulang ke rumahnya. Dia butuh ketenangan. Dia butuh ruang untuk meluapkan kesedihannya. Dan cara satu-satunya yang bisa membuatnya tenang dan meluapkan kesedihannya adalah, menangis.

Tiba di rumahnya, dia langsung memasuki kamar. Beruntung Ayahnya tidur jadi dia tak perlu berbohong kenapa pulang tanpa diantar Ali.

Mengunci pintu kamar, dia duduk di tepian tempat tidur dan perlahan tapi pasti, tangis yang dia tahan hancur begitu saja diikuti sesak di dadanya. Meraih ponselnya, dia menyalakan lagu dengan volume keras agar tangisnya tak didengar dari luar.

Kedua tangannya meremas sprei dengan tatapan lurus ke arah pintu kamar. Ini benar-benar menyakitkan, lebih sakit dari sebuah kabar Kim Seokjin berangkat wamil.

Mungkin, dia bisa terima jika Ali belum menerima pertunangan ini, tapi tidak dengan Ali yang masih mengharapkan mantan tunangannya itu. Bagaimanapun juga, dia ingin seperti perempuan di luar sana yang merasa dicinta dan diharapkan oleh pasangannya, bukan seperti ini. Terkesan tak dianggap dan seperti penghancur kebahagiaan seseorang.

Beranjak dari duduknya, dia mendekati cermin yang menggantung di dinding. Dilihatnya penampilannya yang jauh dari kata keren. Rambut yang hanya dikucir kuda dengan celana kulot dan kaos berlengan pendek. Tak ada yang menarik dalam dirinya. Wajahnya pas-pasan, jauh dari kata cantik.

Menggeleng pelan, dia menghapus kasar air matanya. Kedua tangannya memukul pelan dadanya yang terasa sesak. Dia tidak boleh seperti ini. Seharusnya dia tak selemah ini dan seharusnya...dia berusaha membuat Ali melupakan mantan tunangannya, entah sebesar apa cinta Ali pada mantan tunangannya.

Membalikkan badan menghadap meja belajar dimana ada satu bingkai foto keluarganya, dia tersenyum lebar. Dia pasti bisa melewati semua ini. Jika tidak demi dirinya, setidaknya demi keluarganya agar tak menanggung malu jika dia gegabah memutuskan pertunangannya dengan Ali. Dia tak mau jika para tetangga berbondong-bondong mencaci maki keluarganya.

***

Ketika waktu menunjukkan pukul dua siang, dia mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. Bahkan, kepalanya masih pening karena bangun tidur langsung berlari ke kamar mandi untuk cuci muka, mengganti pakaian lusuhnya dengan baggy pants dan sweater lalu langsung keluar rumah membawa sepeda motor maticnya tanpa sempat berpamitan pada Ayahnya yang tengah mengaji.

Yang jelas, saat ini dia benar-benar khawatir dan ketakutan. Pikirannya kacau namun berusaha fokus mengendarai sepeda motor agar tak terjadi sesuatu padanya. Matanya berkaca-kaca karena terlalu mengkhawatirkan seseorang yang telah membuatnya sakit hati. Ali.

Bukan tanpa alasan dia seperti ini. Ketika dia tengah tidur dengan nyenyak, tiba-tiba ponselnya berdering tanpa henti. Melihat siapa yang menghubunginya hingga menganggu tidur nyenyaknya, dia terkejut karena Mama mertuanya lah yang menghubunginya. Ketika panggilan tersambung, isak tangis mertuanya yang menyapa pendengarannya dan tak lama setelah itu mertuanya memberitahunya jika terjadi sesuatu pada Ali, tunangannya.

War Of HormonesDonde viven las historias. Descúbrelo ahora