War Of Hormones | 16

4.6K 507 114
                                    

Tolong, tandai bagian yang typo...

Dengan perasaan hampa dan tatapan kosong, Prilly melangkah pelan meninggalkan rumah besar yang dia anggap sebagai rumah kedua. Rumah yang membuatnya mengenal lingkungan orang-orang kaya yang segala sesuatunya terpenuhi tanpa harus berhutang sana-sini. Dia mengabaikan teriakan Irna yang meneriaki namanya dan mengejarnya. Dia enggan berbalik dan kembali, sekalipun Irna yang memanggilnya.

Hatinya telah membeku dan sulit untuk mencair mendengar satu fakta yang membuat dunianya runtuh tak tersisa. Tak ada lagi sebuah harapan. Semua tak bisa terselamatkan. Rasa yang dia tanam untuk Ali entah dimana keberadaannya, yang tersisa hanya sakit. Hilang sudah tekad yang membumbung tinggi untuk menerima Ali apa adanya. Semua hilang dan satu yang harus semua orang tahu, dia hanya manusia yang memiliki batas kesabaran.

Mengabaikan pening di kepala karena baru sadar dari pingsannya langsung berlari, dia tetap mengendarai sepeda motornya dan menjalankan sepeda motornya meninggalkan rumah Ali. Mengabaikan Irna yang berdiri di teras menatapnya nanar. Dia terlanjur sakit dan tak bisa berpikir jernih dalam keadaan sehancur ini.

Ali telah memilih Rita dan tak ada lagi ruang untuknya bertahta.

Sesampainya di rumah, dia dikejutkan dengan ibu dan ayahnya yang berdiri di pintu utama ketika sepeda motor yang dikendarainya memasuki halaman rumah. Turun dari sepeda motor dan mendekati ayah dan ibunya, detik itu pula tubuhnya terdorong ke belakang ketika ibunya secara tiba-tiba memeluknya dan menangis tersedu-sedu.

"Ibu, ada apa? Kenapa ibu menangis?"

Dia melepas pelukan ibunya dan menatap lekat wajah basah ibunya. Lalu, tatapannya mengarah pada ayahnya yang berkali-kali mengusap wajahnya dengan mata yang berair.

Dia semakin mengernyitkan keningnya, penasaran apa yang sebenarnya terjadi hingga membuat kedua orang tuanya pilu seperti ini. Satu lagi, waktu masih menunjukkan pukul tiga sore dan kenapa ibunya sudah ada di rumah? Biasanya, ibunya pulang kerja paling lambat pukul setengah lima sore.

Ketika kebingungan menguasai, detik itu pula lirihan ibunya membuatnya membeku diikuti air mata mengalir tanpa diprediksi.

Satu kenyataan kembali menghantam hatinya yang semakin remu. Orang tuanya....mengetahui kebenarannya tentang Ali!

"I...ibu..."

"Jangan lepaskan Ali, ibu mohon."

Nafasnya tercekat. Air mata tetap mengalir namun kesadaran tetap utuh.

Untuk kesekian kalinya dia merasa dunianya runtuh. Mempertahankan Ali sama saja melakukan suatu kebodohan melebihi orang bodoh sekalipun.

Menggeleng, dia menatap lekat ibunya tepat di iris matanya. Tangisnya pecah, seolah mengatakan kepada semua jika dia telah hancur dan sulit untuk menerima kenyataan ini. Dia menyerah dan mempercayakan semua pada takdir jika dia dan Ali memang tak bisa bersatu, Ali ditakdirkan untuk Rita, bukan untuknya.

"Ibu mohon, Nak."

Prilly kembali menggeleng. Kedua tangannya menutup telinganya, tidak ingin mendengar tiap kalimat yang ibunya katakan. Semua menyakitkan dan semua seolah tak ada yang berpihak padanya, termasuk ibunya sendiri.

"Ibu, Ali menghamili Rita. Ali mencintai Rita, bukan Prilly. Yang Ali harapkan kehadirannya adalah Rita, bukan Prilly. Lalu, bagian mana yang memberi Prilly celah untuk mempertahankan Ali?"

Prilly menjauh ketika ibunya hendak memeluknya kembali. Dia lelah dan membenci takdir yang membuatnya sehancur ini.

"Kamu harus mencari kebenarannya. Ali..."

War Of Hormonesحيث تعيش القصص. اكتشف الآن