War Of Hormones | 3

5.1K 423 21
                                    

Tolong, tandai bagian yang typo...

"Ma, Ali mau keluar."

Bukannya menerima uluran tangan Ali, Irna justru berdiri dan menarik tangan Prilly yang duduk di sampingnya agar berdiri di dekatnya. Irna mendorong pelan bahu menantu cantiknya itu hingga menabrak bahu kanan Ali.

"Jangan malam-malam keluarnya, Prilly anak cewek soalnya," ujar Irna sembari mengusap pucuk kepala Prilly dengan senyum teduhnya.

Mengerut kening, pada akhirnya Ali mendengkus. Dia mengerti apa yang Mamanya maksud. "Ali mau keluar sendirian, Ma! Prilly biar disini sama Mama."

Kali ini Irna yang mendengkus. "Mama maunya kamu keluar sama Prilly, malam mingguan berdua. Lagian, kalian ini tunangan jadi gak ada larangan mau kamu bawa Prilly keluar."

"Lagian setiap malam minggu kita jalan berdua, kenapa sekarang kamu gak mau malam mingguan berdua?" Kali ini Prilly menyahut dengan wajah pias.

Ali menggeram tertahan. Rupanya tunangannya itu semakin memanfaatkan keadaan untuk bisa selalu berdua dengannya. Tidak mau memperpanjang masalah, dia akhirnya melangkah keluar rumah setelah melirik tunangannya untuk ikut dengannya dan tentu saja mendapat senyum bahagia dari mamanya.

***

Waktu menunjukkan pukul dua belas malam lewat sepuluh menit. Namun Ali enggan untuk pulang meski Prilly merengek minta pulang karena mengantuk dan......takut.

Mengabaikan wajah memohon tunangannya, dia tetap duduk di atas sepeda motornya dan tentunya dengan perut yang dipeluk erat oleh tunangannya.

Sembari meneguk habis minuman kaleng yang dibelikan temannya, tatapannya lurus ke arah depan dimana  anak-anak muda seusianya yang bergerombol dengan asap rokok yang mengudara berdiri di dekat sepeda motornya.

Waktu yang beranjak tengah malam sama sekali tak membuat mereka mengantuk atau kedinginan. Justru semakin bersemangat untuk menantikan sesuatu yang biasa mereka lakukan dan lihat khusus di malam minggu, balap motor liar. Sepanjang jalan dipenuhi oleh anak-anak muda yang berseru ketika motor yang dikendarai oleh pembalap abal-abal jagoan mereka menyalip lawan.

Sekali lagi mencoba mengabaikan rengekan Prilly yang meminta pulang, dia mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans-nya dan mengangkat ponselnya setelah meng-klik ikon kamera untuk merekam serunya balapan malam ini. Beberapa detik kemudian, dia mengakhiri rekamannya, setelah melihat hasil rekamannya, dia mengirim videonya kepada teman di sekolah lamanya yang tak datang malam ini. Dia terkekeh ketika temannya dengan cepat membalas pesannya dan mengirim voice note padanya yang berisi kalimat luapan kekesalan temannya itu.

Asik dengan ponselnya membuatnya benar-benar mengabaikan Prilly. Namun itu semua tak berlangsung lama ketika dia mendengar Isak tangis yang begitu dekat dengan telinganya.

Menyimpan ponsel di saku celana, dia menoleh ke belakang namun kaca helmnya bertabrakan dengan kaca helm Prilly sehingga dia tak bisa menatap wajah tunangannya itu. Melepas kedua tangan Prilly yang melingkari perutnya, dia turun dari sepeda motor dan berdiri menghadap ke arah wajah basah tunangannya.

Ibu jarinya bergerak mengusap air mata Prilly dan tangan satunya lagi merengkuh pinggang tunangannya. Tatapan tajamnya  menelusuri wajah tunangannya yang basah oleh air mata.

"Ini alasan gue kenapa gak ngajak lo keluar."

Isak tangis yang mulai mereda, Prilly melingkarkan kedua tangannya di leher Ali dan menyembunyikan wajahnya di bahu kanan tunangannya.

"Pulang," lirihnya dengan suara yang bergetar.

"Gak semua yang gue lakukan harus melibatkan lo. Gue butuh kebebasan dan setiap langkah gue, gak selalu sama lo. Kita memang tunangan, tapi bukan berarti lo harus tahu semua tentang gue. Ini privasi gue dan ini kebebasan gue. Lo gak perlu ikut campur."

War Of HormonesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang