#24 Fitnah

20.9K 1.3K 90
                                    

"Akhhhhh"

Bukan, bukan aku yang terjatuh melainkan dia, yah Reina terpeleset karena ambisinya terlalu besar untuk mendorongku.

"Umi". Pekik Mas Alvian.

Aku terkaget kenapa Mas Alvian ada disini? Apakah ia melihat dari awal? Atau hanya melihat adegan pas Reina terjatuh saja?

"Al masak istri kamu dorong aku, padahal kan aku cuman mau ngajak ngobrol, eh dia malah menuduhku ingin merebut kamu". Ucap Reina dengan pura pura mengaduh kesakitan. Aku melotot mendengar penuturannya, bagaimana dia bisa mengatakan seperti itu saat aku tak melakukannya?

"Bi dia jatuh sendiri, demi Allah bi umi gak melakukan itu". Aku berujar untuk membela diri, karena memang aku tak berbuatnya, malah sebaliknya dia yang ingin mencelakaiku dan anakku.

"Bohong, Al dia sendiri yang mendorongku,  padahal niatku baik malah istri kamu mendorongku sampai terjatuh". Ucap Reina sok dramatis.

"Kamu jangan fitnah Reina, aku gak pernah ngedorong kamu, lagian tadi kamu yang ingin mendorongku dan membuat aku dan calon bayiku celaka, agar Mas Alvian membenciku". Aku mengatakan apa yang terjadi tadi, dengan amarah yang membuncah buncah.

"Lihatlah Al, istrimu sangat pintar membolak balikkan fakta seolah olah dia yang tersakiti disini, sementara kau lihat sendiri aku yang terdorong dan terjatuh disini".

Tanpa sepatah katapunn, Mas Alvian menarik pergelangan tanganku dengan kasar, dan membawaku kedalam kamar.

Didalam kamar ia langsung saja menghepaskanku ke kasur, dan matanya menyorot mataku dengan sorot kemarahan.

"Sudah berapa kali abi bilang sama umi, kalau abi gak ada rasa sama tuh perempuan, tapi apa umi cemburu dan mendorongnya,  dia itu tamu umi harusmya umi bisa dong menghormatinya". Ucap Mas Alvian dengan nada kemarahan.

Mendengar perkataannya, seketika hatiku mencelos, bagaimana bisa dia lebih percaya kepada Reina?, daripada sama diriku yang notabenya adalah istrinya.

"Jadi abi lebih percaya sama omongan Reina dari pada aku? Aku gak bohong bi". Aku berucap dengan air mata yang sudah membanjiri pipiku. Jujur hatiku sakit melihat suamiku sendiri lebih percaya orang lain dan orang lain itu notabenya adalah masa lalunya. Apakah kalian tidak sakit jika berada di posisiku?.

"Abi percaya sesuai fakta saja mi". Ucapnya santai, dan tanpa menoleh padaku.

Fakta? Fakta katanya, dimana letak fakta itu. Yang jelas faktanya ada Reina yang ingin mencelakaiku tapi kenapa jadi terbalik disini aku yang jadi tersangka?

"Abi demi A.... ". Aku tak meneruskan ucapanku karena Mas Alvian memotongnya.

"Jangan membawa Allah kalau dirimu sendiri bersalah". Ucapnya dingin, sedingin kutub.

"Bi aku gak bersalah, kenapa sih abi gak bisa percayain istri sendiri? ". Tanyaku geram.

"Karena abi lihat dengan mata kepala abi sendiri kalau umi yang dorong". Teriaknya.

Aku tak dapat lagi berkata kata, rasanya perih itu semakin menjalar dihati aku. Aku hanya bisa menangis dan menahan sesak.

"Jangan jangan abi membelanya karena abi masih cinta sama dia? ". Tanyaku dengan tatapan yang berembun karena air mata.

"Umi, sudah berapa kali abi bilang abi sudah gak ada perasaan sama Reina, udah deh jangan cemburuan, jangan kayak anak kecil, makin hari umi makin ngelunjak ya". Bentaknya padaku. Dan kalian tahu sendiri aku sangat sensitif dengan bentakan.

"Okey bi kalau abi masih menyalahkan umi, sekarang juga umi akan pulang ke rumah bunda untuk nenangin hati dan pikiran, kalau abi sudah tenang dan sudah tak menyalahkan umi, jemputlah umi. Tapi jika abi masih saja menyalahkan umi, mungkin jalan kita masing masing, insya Allah umi kuat kok menafkahi anak kita". Ucapku lalu berlalu keluar.

Sementara Mas Alvian, tetap tak bergeming di tempatnya.

*****

Tujuanku sekarang adalah kamar Aya, dan setelahnya baru ke umi.

Tapi langkahku terhenti saat meluhat mereka sedang duduk menonton televisi.

"Loh nak kamu habis nangis? ". Tanya Umi mendekatiku.

"Umi kenapa? ". Tanya Aya padaku.

"Uti, Tante, aku pamit kerumah bunda beberapa hari ya, nitip Abi Alvian,  dan salamin buat kakung". Ucapku pada mereka.

Dan selanjutnya aku memeluk umi dengan terisak, aku sangat menyayanginya, dan sekarang aku harus pergi.

"Kamu kenapa sayang? ". Tanya Umi lembut sekali.

"Gak papa, Maafin Indi ya uti, Indi banyak salah sama uti". Ucapku lagi.

"Tante, Maafin aku ya, aku banyak ngerepoti tante". Aku beralih memeluknya.

"Aya janji mbak, bakal membongkar semuanya sesuai fakta". Bisiknya saat kami berpelukan.

"Tak apa Tante". Aku mencoba tegar.

"Nggak mbak, sampai kapanpun aku gak mau posisi mbak digantikan, lihat saja mbak tak lama lagi semuanya bakal terbukti, baik baik dirumah bunda, jaga calon ponakan aya yang benar ya mbak".

"Makasih Tante, tolong jagain abi ya tan". Pesanku padanya.

*****

Setelah berpamitan dengan umi dan Aya, aku langsung saja kekamar dan mengambil beberapa baju, dan memasukkannya kedalam totebag.

"Umi pamit abi, assalamualaikum ". Aku berpamitan pada Mas Alvian.

Dalam hatiku, ingin sekali aku mendengarnya mencegahku, sekali saja, aku tidak akan jadi ke rumah bunda.

Tapi semua itu hanya ekspetasi dan Mas Alvian, tetap diam tanpa menjawab salamku.

Dengan berat hati aku langsung berjalan keluar dari rumah, dan menuju luar pelataran pesantren untuk memesan taksi, yah aku menolak tawaran umi untuk meminta antar supir, dengan dalih supir ayah menjemputku diluar.

Saat aku berjalan untuk menuju gerbang depan, lagi lagi Reina muncul, dan kali ini dengan senyum mengejeknya.

"Gimana? Gue peringatkan sekali lagi jangan macam macam sama Reina, karena apa? Karena percuma saja gak akan bisa menang". Ucapnya dengan nada mengejek.

"Allah bersamaku, jadi tidak akan lama lagi Allah pasti akan membukakan pintu kebenaran". Ucapku dengan santai.

"Alah sok suci, ingat ya Alvian itu hanya milik gue". Tekan Reina lalu pergi dari hadapanku.

*****

Gimana nih perasaannya setelah baca part ini?

Syedih gak?

Duh kok berbisa banget sih si Reina?

Indi yang sabar yaaa

Lumajang, 2 Agustus 2020

Mendadak Jadi Ning (OPEN PREE ORDER) Where stories live. Discover now