🥀4. Nekat🥀

1K 102 44
                                    

Keinginan Josua untuk pulang cepat terhambat. Pandangan Arya seolah mematri kaki lelaki muda itu sehingga ia tidak bisa berkutik. Josua hanya bisa pasrah saat dipersilakan duduk oleh Arya di teras depan rumah.

Aura yang beku menguasai tempat itu. Padahal hawa kota Solo cukup gerah walau langit sudah tak dirajai lagi oleh mentari. Josua duduk dengan gestur kaku, menumpukan tangan di paha dengan punggung yang tegak. Kepalanya hanya bisa menunduk menanti khotbah dari papa Ceci.

Lima menit tak ada suara dari lelaki berumur lebih dari setengah abad itu. Pantat Josua mulai bergerak tak tenang di kursi. Berulang kali ia berusaha melirik wajah masih menyorot tajam ke arahnya.

Suara dehaman berat terdengar. Josua mengangkat kepala. Pandangan Arya begitu menusuk, membuat kuduk Josua bergidik.

"Bang, ehm ... bagaimana kuliahnya? Om lihat kamu tambah kurusan?" tanya Arya membuka percakapan.

Josua memijat tengkuk. "Baik-baik saja, Om."

"Trus, kamu gimana sama Ceci?" Arya langsung membahas ke inti percakapan.

"Gimana apanya, Om?" Josua tak mengerti.

Arya mendesah. Rupanya kekasih anaknya ini kurang tanggap dalam hal cinta. "Selain menunggu ijasah kamu, Ceci juga menunggu ijab sah kalian. Om tidak ingin memaksa. Hanya saja, pacaran kalian sudah cukup lama. Walau Ceci tidak cerita, tentu saja Ceci galau, seolah hubungan kalian tidak meningkat."

Arya memicing, membetulkan letak kaca mata berbingkai hitam untuk meraup ekspresi pemuda di depannya. "Kami sebagai orang tua pun was-was. Khawatir kalau ... ya, kamu tahu pasti yang Om maksud ...."

Josua mengernyit, berusaha menebak maksud Arya. "Sex bebas gitu, Om?"

"Tepat. Kalian sudah dewasa, terus terang Om khawatir-"

"Ya Tuhan, Om. Bisa-bisanya Om bicara begitu? Mencium Ceci saja jarang-jarang ...."

Mata berkeriput itu semakin menyipit. Wajahnya mendekat, melampaui meja yang membatasi mereka. "Kamu sudah mencium Ceci?"

Wajah Josua memudar ronanya. Ia mengutuk lidah yang menggetarkan kata tak perlu. Ia tidak bisa berkelit, hanya mengangguk membenarkan pertanyaan Arya.

"Di bagian mana?"

Josua membisu. Ia melipat bibir, dengan wajah sudah semerah tomat yang tumbuh di pot depan teras. Otaknya merangkai jawaban sekaligus rutukan. Bagaimana mungkin lelaki itu mengakui bahwa dia mencium Ceci di kelopak bibir merah tipis yang selalu menggoda.

"Di mana?" Suara Arya menggelegar lagi.

Wajah Josua benar-benar terasa panas. Ia mengipasi muka dengan telapak tangan, mengurangi rona pekat di pipi. Josua yang mudah malu itu, menggigit bibir, sambil mengerling ke arah Arya yang alisnya sudah bertaut di pangkal hidung.

"Di bibir?" tebak Arya.

Josua meringis. "Apakah harus dijawab, Om?" Melihat ekspresi Josua, Arya tahu jawaban tersirat Josua.

Badan yang tadi dicondongkan ke depan, kembali Arya tarik. Lelaki tua itu mendesah dan menyandarkan punggung di sandaran kursi. "Baiklah. Om tahu jawabannya. Intinya, sebagai lelaki kita jangan membuat wanita menunggu."

Josua sangat paham maksud pembicaraan Arya. Menunggu "Ijab sah" artinya Josua diminta segera menaikkan status hubungan yang sudah terjalin selama lima tahun ini. Mengingat isyarat yang tadi dikemukakan oleh Ceci bahwa gadis itu ingin dilamar, tentu saja membuat Josua berpikir apakah memang sudah saatnya untuk mengakhiri masa pacaran mereka dalam sebuah pemberkatan janji suci pernikahan. Terlebih papa sang kekasih seolah menodong komitmennya sebagai seorang lelaki.

Mozaik (Repost)-COMPLETEWhere stories live. Discover now