🥀17. Kecupan Tangan🥀

395 87 20
                                    

Josua melongo. Rahangnya tertarik bumi begitu saja saat Nathan mengemukakan keberatannya. Seingat Josua, orang tuanya sangat menyayangi Ceci layaknya putri mereka sendiri. Namun, ia tak menyangka sang papa memberikan penolakan.

"Pi …." Suara sendu yang terdengar dari bibir lelaki dewasa itu seolah remaja lelaki yang merengek meminta sesuatu. Binar matanya meredup seiring wajah yang kusut.

Nathan tak memandang ekspresi meminta belas kasihan yang lama tidak Josua tampakkan. Seingat Nathan, Josua jarang meminta sesuatu. Sewaktu SD, saat anak sulungnya menginginkan game boy, Josua akan memberikan raut persis seperti yang tergambar di wajahnya sekarang. 

Yang Nathan tahu, game boy semasa SD-nya masih terawat dan kadang Josua  mainkan di saat senggang. Anak sulungnya sangat telaten merawat mainan kesayangan. Bila ada lecet sedikit, bisa dipastikan Josua yang pendiam akan mengamuk, atau dia akan membuang barang yang rusak itu. Namun, yang terjadi sekarang, bukan sebatas meminta mainan. Residen obsgyn itu menginginkan menikahi seorang perempuan. Bukan gadis suci, tetapi yang sudah ternoda. Parahnya bukan karena ulah sang putra.

Keheningan menyergap mereka. Kedua lelaki beda generasi itu bertatapan ditemani embusan angin malam yang menusuk tulang. Suara jangkrik menengahi kebisuan mereka, dengan aroma teh melati yang masih menguar. 

Jovanka mendatangi dua lelakinya dan menarik kursi sehingga ketiganya mengelilingi meja kecil. Wanita itu tahu pembicaraan malam ini sangat serius. Jova masih menyimak, belum memberikan pendapat.

Nathan berdeham. Dia membasahi bibirnya dengan ujung lidah sebelum berbicara. “Bang, kamu yakin dengan kemauanmu? Ceci tak lagi sama. Ibarat mainan sudah rusak.”

Wajah Josua memerah mendengar penuturan sang papi. Telinganya terasa panas. Dia tidak terima Ceci dikatakan mainan yang tidak berharga. “Ceci bukan barang, Pi. Ceci punya hati. Dia terpuruk, dan butuh sandaran!” tandas Josua hingga pembuluh di lehernya menonjol.

Nathan mengembuskan napas panjang. “Papi nggak pengin kamu dan Ceci menyesal, Bang. Ceci butuh sandaran. Apakah kamu bisa meluangkan waktumu di saat kamu masih menjadi residen obsgyn dan nantinya menjadi dokter obsgyn. Kamu tahu kan, mengambil spesialisasi ini mempunyai resiko profesi yang cukup berat.”

Josua menunduk. Dia menekuri lantai keramik putih seolah tergambar wajah Ceci di situ sementara dua pasang mata orangtuanya yang memerhatikan.

Jova dan Nathan mendesah hampir bersamaan. Ia tahu betapa Josua sangat menyayangi Ceci dan menjaga kesucian kekasihnya itu. Melihat punggung Josua yang melengkung, Jova tahu anaknya pasti berbeban berat.

"Bang, apa perasaanmu sekarang?" tanya Jova membuat dadanya berdesir. 

Setelah dua hari sejak ia mengetahui kondisi Ceci, pertanyaan Jova mampu menyentil sisi lemahnya. Josua hanya bisa menggigit bibir dengan mata yang memerah. Sekuat tenaga ia ingin meredam kepedihan, tapi akhirnya kata itu terlontar dengan suara bergetar.

"Aku kecewa, Mi … dengan diri sendiri karena membuat Ceci terpuruk." Alis lebat itu bergetar menahan air mata.

"Bukan itu yang Mami maksud. Gimana perasaanmu pada Ceci? Mami dan Papi nggak pengin kamu menikah hanya sebatas rasa bersalah. Ingat, menikah itu harus menerima kekurangan pasangan. Termasuk segel Ceci yang sudah rusak," kata Jova lembut. Wanita berdarah Batak yang tegas  itu selalu bisa menampilkan sisi kelembutan seorang ibu di saat Josua terpuruk.

"Mi, aku cinta sama Ceci. Bahkan sejak peristiwa itu rasa bersalah justru membuat cintaku semakin besar. Apa Mami pikir cintaku setipis selaput dara yang mudah koyak?" 

Sungguh, kali ini Josua tidak bisa mengontrol lidahnya untuk diam. Gejolak rasa kecewa dan kesedihan menggelegak hingga menggetarkan lidah untuk menyatakan perasaan yang selama ini tak pernah ia utarakan pada kedua orang tuanya.

Mozaik (Repost)-COMPLETEWhere stories live. Discover now