🥀13. Kesungguhan Josua🥀

491 88 31
                                    

Menjadi seorang ibu harus kuat menahan pilu. Begitu juga dengan Ratna. Sejak ia menangis di dada suaminya, kelenjar air matanya seolah kering. Ia sudah menata hati, berusaha menjadi ibu yang kuat bagi Ceci.

Melihat kondisi Ceci masih belum stabil, tak dimungkiri batin Ratna ikut tercabik. Hanya rentetan doa yang ia ucapkan, berharap Sang Pemberi Kehidupan memberikan Ceci kekuatan. Saat ikhtiar sudah dilakukan, selanjutnya wanita itu hanya bisa berpasrah. Manusia berusaha dan Tuhan membereskan sisanya.

Suasana hati Ceci yang tak menentu berimbas pada kesehatan raganya. Ceci tidak bisa makan karena merasa ada bau anyir di mulutnya. Halusinasi itu kadangy hinggap mengikis nalar yang sehat. Sekilas, perempuan itu memang terlihat baik-baik saja. Walau luka di tubuhnya semakin memudar, tetapi jiwanya masih tercabik.

Siang itu, Ceci hanya duduk dengan kaki tertekuk menempel dada. Pandangannya kosong menatap layar televisi yang menyala dengan volume ringan. Suara yang keluar dari mulutnya hanya senandung lagu yang mengalun sendu. Ratna belum pernah mendengar lagu itu, dan menebak nada-nada itu tercipta begitu saja dari batin yang pilu.

Hanya lagu yang menemani kehampaan pikiran Ceci. Dan sepertinya rangkaian nada yang ia gumamkan, mampu membuat akalnya terpancang erat di jiwa.

"Ce, makan yuk?" Ratna kembali membujuk Ceci.

Ceci tak menjawab. Pandangannya masih nanar dengan gumaman berlagu. Ratna pun menepuk lembut pundak Ceci, menghalau lamunannya.

Ceci terkesiap. Ia memandang Ratna. "Kapan Ceci pulang, Ma? Ceci nggak sakit." Mata itu memandang penuh harap.

Batin Ratna perih mendengar penyangkalan Ceci. Bagaimana bisa ia tidak sakit kalau setiap malam ia akan berteriak minta tolong? Kadang ia harus diberi obat penenang saat mimpi buruk itu datang menyergap. Belum wajahnya yang pucat mengisyaratkan badan tak sehat karena sama sekali gadis itu enggan menerima makanan.

Namun, Ratna hanya tersenyum. Ia menyibak rambut cokelat Ceci di belakang telinga. Dalam beberapa hari, pipi itu tak lagi berisi. Matanya cekung, tergantung kantung dan tertoreh lingkaran kehitaman.

"Bagaimana bisa kamu nggak sakit kalau kamu menolak papamu sendiri?" ucap Ratna prihatin.

Ceci mendesah. Walau nalar Ceci mengatakan Arya adalah ayahnya, tapi tetap saja ia dilanda ketakutan. Seolah semua lelaki akan berubah menjadi monster Kraken yang akan menjulurkan tentakel hendak mencekik lehernya.

"Kalau Ceci bisa menemui papa, berarti boleh pulang?" tanya Ceci dengan kedua alis terangkat.

Ratna mengangguk. "Bisa menemui papa dan makan." Ratna menggunakan kesempatan untuk membujuk putrinya makan.

Segera Ceci menggeser overbed table ke atas ranjang Ceci dan membuka plastik penutup makanan. Wanita itu seperti menghadapi seorang gadis kecil yang merajuk. Namun, senyuman tetap mengembang di wajah kuyunya, menyembunyikan rasa sedih.

Mata Ceci masih memindai gerak-gerik Ratna. Perempuan itu tahu bahwa mamanya berduka. Ratna yang mudah menitikkan air mata itu kini terlihat tegar, walau matanya menyiratkan nestapa. Senyuman selalu ditunjukan untuk memberi kedamaian Ceci.

"Ma, maafkan Ceci. Ceci janji nggak akan membuat Mama dan Papa khawatir lagi." Ceci menunduk. Rambutnya terjuntai menutupi wajah oval. Sedang kedua tangan menggenggam tangan kiri Ratna yang memegang sendok.

Sesaat hanya keheningan yang menguasai ruangan. Isakan Ceci kembali menguar setelah satu jam lalu berhenti. Mendengar sedu sedan sang putri dengan badan yang bergetar, Ratna masih berusaha menguatkan hati. Ia hanya mengeratkan pegangan sendoknya. Tak memedulikan desir nyeri di dada, ia memotong daging bistik yang akan disuapkan pada Ceci.

Mozaik (Repost)-COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang