🥀15. Langkah Awal🥀

418 96 28
                                    

Arya menghentikan langkah. Matanya melembap, mendapati sang putri yang ketakutan. Walau hati merintih, ia tidak ingin memaksakan Ceci menerimanya. Setidaknya, sudah baik Ceci berniat menemui lelaki paruh baya itu.

Arya memilih membalikkan badan untuk keluar, tapi suara sengau itu mengalun dari mulut Ceci.

"Papa."

Arya urung melangkah. Ia memutar tubuh kembali menghadap Ceci, memastikan telinganya tak salah tangkap suara.

"Kamu memanggil Papa?" tanya Arya lirih tak ingin terlalu berharap.

Mata Ceci memerah. Ia mengangguk pelan. Walau masih ada getar gentar, wanita muda itu berusaha menepis.

Melihat anggukan Ceci, Arya tersenyum lebar hingga kerut di wajah tercetak jelas. Dia mengikis jarak, tanpa mengalihkan pandangan dari sang putri. Hingga akhirnya lelaki itu berada di sisi Ceci.

"Apa kabarmu, Ce? Papa rindu." Arya terlihat kaku, berusaha menahan diri tak memeluk Ceci.

Ceci berusaha mengendalikan pikirannya. Ia menghirup udara dan mengembuskan secara teratur seperti saran Binta bila ia merasa cemas dan panik.

"Ba-baik, P-Pa," jawab Ceci terbata. Tapi bagi Arya, tanggapan Ceci sudah sebuah berkah karena berusaha melawan traumanya.

Arya, Ratna dan Ceci terdiam sesaat. Masing-masing merasakan kehangatan dalam batin seiring matahari yang semakin condong ke barat menyusup dari jendela kamar. Walau tak terucap, kedua orang tua itu merasa bersyukur karena anak mereka yang mandiri dan kuat akhirnya menggeliat bangkit. Seperti dulu saat Ceci balita jatuh. Alih-alih membopong, Arya dan Ratna akan memberi kalimat penyemangat agar ia bangkit dan kembali menapak.

Mengetahui Ceci yang lebih tenang, Ratna mengambil kursi dan menyorongkan pada sang suami. Lelaki itu tersenyum dengan pandangan terima kasih atas pengertian sang istri, kemudian duduk di kursi di samping brankar.

Ratna memilih menjauh. Memberi kesempatan Arya berinteraksi dengan putrinya. Ia memilih ke luar untuk menghirup udara segar sejenak.

Arya menatap wajah Ceci yang sayu dan pucat. Ia benar-benar ingin menghapus kesedihan di paras kuyu itu. "Boleh pegang tanganmu, Ce?" tanya Arya yang disambut anggukan.

Pelan-pelan Arya meraih tangan putrinya. Ia mengelus tangan yang telapaknya basah dan bergetar. Pandangan Arya mengabur karena terlapisi air mata. Ia tak menyangka putri yang ia jaga akhirnya bernasib buruk.

Ayah dan anak itu tidak saling mengungkap kata. Hanya gumaman nada berirama yang terdengar dari bibir Ceci menemani keheningan mereka. Tatapan perempuan itu menerawang. Kosong. Seolah jiwanya ingin berkelana untuk melupakan derita.

Arya menggenggam erat tangan Ceci, ingin memberitahu bahwa lelaki itu akan selalu menggandengnya.

"Papa rindu, Ce. Tadi menjelang siang, Bara ke sini," kata Arya berusaha memecah kebekuan.

Ceci menarik tangannya. Arya yang sedari tadi menekuri tangan berjari lentik itu mendongak.

"Papa bilang apa?" Suara Ceci bergetar. Ia beringsut menjauh. Arya menyesal kenapa ia membicarakan lelaki lain. Menerima dirinya saja susah apalagi kaum Adam yang lain.

"Papa nggak bilang apa-apa." Arya berusaha meredakan kegugupan Ceci. Arya paham, anaknya tidak ingin kasusnya diketahui banyak orang, sehingga ia mencari alasan agar Bara tidak bisa menengok Ceci. "Selain papa mama, Prof. Lina, beberapa perawat dan Josua, nggak ada orang yang tahu."

Mendengar nama Josua, hati Ceci berkabut sendu. Rasa rindu yang menyusup kalbu harus segera ia tepis agar tidak mengganggu. Ceci mengalihkan pandang, menyembunyikan secercah rasa yang membuat hatinya seperti tercabik sembilu. Nalarnya mengatakan ia tidak pantas untuk Josua. Akalnya berbisik, ia sudah ternoda. Jiwanya meronta mengusir rasa rindu.

Mozaik (Repost)-COMPLETEWhere stories live. Discover now