🥀6. Menanti Ceci🥀

426 77 29
                                    

Josua berlari dari tempat parkir ke cafe tempat ia akan mengadakan peringatan anniversary. Ia hanya sempat membasuh wajah saja. Beruntung masih ada kemeja cadangan yang selalu ada di mobil, sehingga penampilan lelaki itu tak tampak kusut.

Dengan napas terengah ia mengedarkan pandangan ke seluruh bagian dalam ruangan. Cafe itu sudah ramai dengan pasangan muda-mudi yang ingin melewatkan kencan. Musik dari permainan band akustik menggema di seluruh ruang.

Josua memicingkan mata, memindai sosok perempuan kurus berambut lurus. Namun, senyum menawan itu tidak bisa ia temukan di setiap sudut cafe. Lelaki itu bergegas menemui pramusaji yang kebetulan lewat, kemudian bertanya, "Mas, meja yang sudah di–booking atas nama Ceci mana, ya?"

Pelayan laki-laki itu memandang berkeliling, kemudian matanya berbinar saat menemukan tulisan Ceci di atas meja sudut ruangan. "Di sana, Mas."

Josua mengikuti arah jari telunjuk karyawan cafe. Namun, yang dilihatnya hanya meja kosong dengan sebuah akrilik transparan yang diisi kertas bertulis "Ceci-Josua". Lelaki itu mengucapkan terima kasih dan segera menuju ke meja yang sudah dipesan.

Begitu duduk, mata Josua masih bergerak gelisah memandang ke seluruh bagian cafe. Tak terkecuali lorong menuju toilet yang berada di belakang. Namun, selama lima menit Josua mencermati lorong itu, tak ada tanda Ceci keluar dari sana.

Josua mengernyitkan alis, sambil merogoh gawai. Tak biasanya Ceci terlambat. Kekasihnya juga bukan tipe yang suka merajuk, dan bila gadis itu terlambat, ia pasti memberi kabar.

Begitu mendapati kontak Ceci, ia segera melakukan sambungan telepon. Jawaban operator yang menyatakan bahwa gadis itu berada di luar servis area membuat Josua semakin galau. Mengingat perbincangannya di telepon, lelaki itu tahu bahwa sang kekasih sudah meradang.

Josua mendesah sambil mengelus dagunya yang dicukur kilat sewaktu mandi di rumah sakit. Walau ia tak sempat pulang, tetap ingin tampil sempurna di hari bahagia mereka. Terlebih, lelaki itu akan memberi kejutan manis pada Ceci.

"Kemana Ceci?" gumam Josua dengan raut cemas yang tak bisa disembunyikan. Ia kemudian menelepon Jefri, tetapi lelaki itu sama saja tak bisa dihubungi.

Seorang pramusaji mendatangi dengan membawa buku menu. Josua mengambil daftar makanan itu, membuka sejenak tapi langsung saja menyebutkan menu untuk menemani kegundahannya. "Jeruk anget satu. Menu yang lain nanti pesannya."

"Baik, Kak. Silakan dilihat-lihat dulu menunya," ujar pegawai cafe itu.

Josua masih berusaha menghubungi Jefri namun lelaki yangon diutus untuk menjemput kekasihnya itu tak bisa ia hubungi. Ia akhirnya menelepon Reza, tetapi sahabat Ceci itu mengatakan tidak bersama Ceci. Dan saat akan menyusul ke sekolah, gadis itu sudah tidak ada di sekolah.

"Ngapain kamu nemuin Ceci?" tanya Josua. Ia menerima segelas jeruk hangat yang diantar oleh pramusaji. Sambil mengangguk melafalkan kata 'terima kasih' yang tak bersuara, lelaki itu mendengarkan penjelasan Reza.

"Mau curhat, Bang."

Alis Josua mengerut. "Curhat? Emang kamu nggak tahu kalau kami ada kencan?"

"Tahu, sih. Biasanya 'kan Abang molor jemput Ceci," jawab Reza sekenanya.

Decakan menguar dari mulut Josua. Bagaimana bisa kebiasaan molornya juga dihafal oleh teman Ceci? Separah itukah kebiasaannya? Tapi kali ini bukan mau Josua untuk terlambat. Ia benar-benar tak bisa mangkir pulang lebih awal karena harus membereskan tugas yang diberikan oleh Raditya.

"Trus kamu tahu kira-kira Ceci ke mana?" tanya Josua lagi.

"Kupikir tadi udah dijemput Abang." Bukannya menjawab, reaksi Reza justru membuat Josua semakin memberengut kesal.

Mozaik (Repost)-COMPLETEDove le storie prendono vita. Scoprilo ora