🥀8. Kejutan untuk Josua🥀

458 90 29
                                    

Ceci menggelengkan kepala. Rambut yang berantakan kini menutupi wajah yang sudah berderai air mata. Mulutnya masih terkatup rapat.

"Caecilia Sagita! Katakan pada Papa, siapa yang berani menodaimu!" Arya berusaha merendahkan suara. Kepala lelaki itu terasa pening karena peredaran darahnya tiba-tiba mengalir cepat seiring dengan amarah yang menggelegak.

Ceci terisak keras. Pundaknya bergerak naik turun, tak dapat dikendalikan. Ratna hanya bisa melelehkan air mata, walau batinnya menjerit saat mendengar kata 'menodai'.

"Pa, jangan terlalu keras. Lihat anakmu masih shock." Ratna berusaha menenangkan suaminya.

Arya menatap sang putri yang bahkan tak mau memandangnya seolah pemberi kehidupan bagi Ceci itu adalah monster menyeramkan yang siap menerkam.

Ratna melerai cengkeraman Arya dan menangkap tubuh lunglai Ceci yang gemetar. Bahkan kini, Ceci tak bisa menahan kemih saking didera ketakutan yang berkecamuk.

Ratna memeluk Ceci. Menepuk berulang punggung gemetaran itu. Ia tak mengindahkan kakinya kini basah oleh urin merah sang putri. "Tidak apa-apa. Mama di sini. Bersama Papa."

"Ini harus dilapor—"

Ucapan Arya terpenggal, disambut rengekan Ceci. "Jangan! Jangan! Ini hanya mimpi! Besok akan baik-baik saja! Ceci janji ...."

Arya menatap Ceci yang dirundung nestapa. Hatinya ikut remuk tak berbentuk mengetahui anaknya kehilangan kehormatan. Lelaki tegar yang protective itu melelehkan air mata kepedihan. Dia meremas dada bidangnya, seolah ia sendiri yang dilucuti kehormatannya, sambil merutuk lelaki yang tega menjebol kesucian anak semata wayangnya.

Berjalan gontai ke salah satu sofa, Arya mendudukkan badan kekar yang kini hanya bisa melengkungkan punggung. Masih suci tak ada lelaki yang melamar, bagaimana jadinya bila orang tahu bahwa Ceci tak lagi perawan. Arya hanya bisa termangu, mengamati genangan air seni putrinya yang berwarna merah muda di atas keramik putih.

Hati Arya tersayat ... perih tak bisa merintih.

Seketika kemarahan meliputi batin. Seolah ia ingin mencari kambing hitam atas apa yang terjadi. Seandainya saja Josua tidak terlambat datang, pasti peristiwa ini tidak akan terjadi.

***

Ratna membawa Ceci ke dalam kamar. Mengambil bangku plastik, ia mendudukkan putrinya yang tampak linglung seperti tak menapak bumi. Walau hati wanita itu ikut terkoyak, Ratna hanya ingin membuat Ceci terlihat lebih manusiawi, sebelum ia dan suaminya berpikir apa yang harus ia lakukan.

Ratna masuk dengan baskom di kedua tangan. Sekuat tenaga Ratna mengurai senyuman, walau ternyata otot pipinya terasa kaku. Ia meletakkan baskom di lantai dan mengambil handuk kecil dari lemari pakaian Ceci.

"Mama seka badanmu, ya?" Ceci diam. Tak bereaksi. Pandangan kosong seolah nyawanya tercabut menyisakan raga tanpa jiwa.

Dengan menelan ludah kasar, Ratna melucuti pakaian Ceci. Hatinya merintih melihat gaun itu hanya menutup badan polosnya yang lebam penuh jejak keberingasan monster berlabel manusia laki-laki.

"Ini mimpi. Ini mimpi." Berulang kali Ceci bergumam yang membuat Ratna hanya bisa mengeraskan gigitan di bibir bawah. Tetes demi tetes butiran bening keluar dari mata membasahi pipi Ratna sementara tangannya masih sibuk membasahi handuk lalu menyeka badan Ceci.

"Ma, besok anniversary-nya Ceci sama Bang Jo loh. Ini kenapa malam panjang sekali? Mana mimpi buruk pula." Ceci meracau tak jelas dengan pandangan kosong.

"Iya, ini hanya mimpi. Mimpi buruk. Besok kamu akan bangun dan semua baik-baik saja," hibur Ratna dengan suara sengau. Kalimat itu juga ditujukan untuk menghibur dirinya sendiri.

Mozaik (Repost)-COMPLETEOù les histoires vivent. Découvrez maintenant