🥀5. Menanti Josua🥀

487 84 37
                                    

Begitu mobil sudah berhenti di lahan parkir belakang rumah sakit, Josua menyambar sneli dan meloncat turun dari kendaraan. Tak lupa ia menekan tombol 'lock' sebelum memelesat ke dalam gedung. Sambil memakai jas putih ia berjalan cepat. Residen junior itu sudah menduga pasti Radit akan menghadiahinya dengan banyak sekali omelan seperti radio rusak yang tidak bisa dimatikan.

Dengan napas terengah dan peluh yang membasahi wajah, akhirnya Josua tiba di hadapan Radit. Semua orang memandang ke arah lelaki yang dadanya masih kembang kempis itu dengan iba. Senioritas Radit seperti singa ganas yang siap memangsa bayi rusa yang belum bisa berlari kencang.

"Dokter Josua Sadewa! Kemana saja lo?!" Suara itu menggelegar, membuat orang-orang yang ada di situ melihat bergantian Radit dan Josua. Radit yang beradal dari Jakarta selalu menggunakan bahasa santai bila bercakap atau memarahi juniornya.

Josua mengambil sapu tangan dari saku celana. Ia mengusap kasar wajah berkeringat yang kini memucat. "Saya dari toko perhiasan, Bang. Mau lamar pacar saya."

Radit mendengkus. Ia memicing, duduk dengan satu kaki menumpu di kaki lain. Bila senior cerdas itu sudah melipat tangan maka semburan pedas akan menguar di ruangan. Josua hanya bisa pasrah. Dia berdoa, agar Radit cepat mendapat hidayah dan tidak mempersulitnya.

"Kamu tahu 'kan resikonya mengambil spesialisasi ini?"

Josua menelan ludah. Ia hanya mengangguk kemudian menunduk. Lelaki itu takut salah menjawab walau dalam hati kecil meronta. Dirinya hanya menggenggam erat kedua tangan hingga buku jari memutih untuk meredam gejolak jiwa yang tak terima disembur oleh sang senior.

"Lo bisu? Jawab!"

Sungguh, rasanya Josua ingin menonjok muka Radit.

"Saya tahu, Bang." Suara Josua bergetar. Rahangnya merapat sehingga hanya desisan yang terdengar.

"Jo, kita di sini berpacu dengan waktu menyelamatkan dua nyawa. Kamu tahu 'kan nggak ada ceritanya dokter lagi nganterin pacar reuni, sementara ada pasien yang terkapar tak berdaya." Radit menjeda ucapan, memperhatikan lelaki jangkung di depannya. "Gue perhatiin diantara anak baru lo yang sering banget telat."

Seperti yang Josua duga. Para senior sungguh sangat menyayangi junior sampai memperhatikan sedetail itu. "Iya, Bang. Besok nggak lagi."

Radit mendesah, sambil menggelengkan kepala. "Jo, jangan karena kamu anak dekan kamu bisa seenaknya. Tingkat kematian ibu dan bayi bisa meningkat kalau dokternya seperti kamu!"

Kali ini, telinga Josua semakin merah dan panas. Bisa-bisanya Radit membawa-bawa jabatan papanya? Namun, ia hanya membisu. Ia berjanji akan membuktikan bahwa ucapan Radit itu tidak benar.

"Baiklah. Karena lo bersalah, terpaksa lo harus menerima hukuman."

Josua hanya bisa mengembuskan napas pasrah. Dia harus menanggung konsekuensi karena keterlambatannya. Namun, lelaki itu bertekad, malam minggu nanti acara kencannya tidak boleh batal.

***
Ceci sudah tidak sabar menunggu hari Sabtu. Semua persiapan ia lakukan, termasuk memberi hadiah berupa syal yang ia rajut sendiri. Gulungan benang wol warna pelangi selalu tersedia di tas. Bila ada waktu senggang, ia akan merajut agar selesai tepat waktu.

Ceci masih bergabung dalam grup band yang dibentuk sejak kuliah. Band itu didirikan oleh Bara dan diberi nama "The Phoenix", atas ide Ceci. Anggotanya hanya empat orang-Ceci, Bara, Jefri dan Echa.

Mereka dulu sama-sama anggota paduan suara. Kebetulan Bara yang merupakan anak pengusaha kuliner dan pejabat daerah itu mempunyai studio musik, sehingga mereka tidak perlu mencari lagi tempat latihan.

Mozaik (Repost)-COMPLETEWhere stories live. Discover now