🥀18. Semakin Terpuruk🥀

444 85 23
                                    

Ceci memandang nanar Josua seolah lelaki itu adalah monster yang bersiap menyergap. Ia tak mengenal kekasihnya sendiri. Tubuh Ceci beringsut. Dengan cepat ia menegakkan tubuh lalu menarik tungkai dan mendekapnya. 

“Ce ….” Josua memanggil lirih Ceci. Hatinya semakin nyeri dengan penolakan Ceci.

Ratna yang mendengar suara Ceci, buru-buru keluar dari toilet. Ia bergegas mendekati sang putri yang ketakutan. Sambil memeluk Ceci, ia memberi isyarat pada Josua agar menjaga jarak.

Josua mengerti. Ia bergeming di tempat, sementara matanya memindai reaksi Ceci yang dilanda kecemasan. Alisnya kembali mengernyit mengingat informasi dari Binta.

“Bang, cukup dulu untuk hari ini," kata Ratna lirih sembari mengelus punggung sang putri. Ia tidak bisa bergerak karena cengkeraman tangan kurus Ceci.

Josua hanya mengangguk berulang. Lidahnya yang kaku karena terkejut dengan reaksi Ceci tak bisa berkata-kata. Ia membungkuk lantas berlalu dari tempat itu.

Melihat sosok Josua menghilang di balik pintu, napas Ceci perlahan menjadi teratur. Ratna segera mengambil gelas air mineral lalu memberikannya pada sang putri. Ceci menerima gelas tersebut. Iai menyedot cairan untuk membasahi tenggorokan yang kering sambil melirik ke arah pintu, seolah waspada akan ada ancaman yang akan mendatanginya. Begitu satu gelas cairan itu masuk ke dalam lambung, nalar Ceci perlahan kembali.

"Tadi … Bang Jo ya, Ma?" tanya Ceci sembari mengulurkan gelas plastik kosong pada mamanya.

"Iya. Apa tidak terlihat seperti Bang Jo?" tanya Ratna sendu. Matanya menatap Ceci yang juga memandangnya. 

Ceci menggeleng. Gerakan kepala gadis itu membuat hati seorang ibu tercabik.

"Apa yang kamu lihat?" tanya Ratna lagi dengan suara serak karena tenggorokannya terasa tersekat.

Kembali Ceci menggeleng. Ia tak tahu apa yang dilihatnya. Suara yang didengar sewaktu tidur dipersepsikan otak sebagai ancaman. Membuat ia terjaga dengan pandangan yang kabur sehingga tak mengenali Josua.

"Semua kabur, Ma. Seperti saat aku melihat Papa dan laki-laki lainnya," jawab Ceci dengan lesu. Dirinya yakin, ia benar-benar sudah gila.

Melihat putrinya yang linglung, Ratna hanya bisa mendekapnya. Lagi-lagi ia merintih perih mendapati nalar Ceci yang menguap.

***
Pagi ini, saat Binta melakukan visite pada Ceci, gadis manis berkaca mata itu hanya mendesah. Kondisi raga Ceci memang sudah membaik. Tetapi kejiwaan Ceci membuatnya tak bisa memulangkan Ceci.

Mendengar penjelasan dari Ratna saat mengevaluasi perkembangan Ceci, Binta menyimpulkan PTSD yang dialami Ceci cukup parah. Halusinasi semakin memburuk sehingga Ceci kadang mendengar atau melihat hal yang tak nyata. Belum mimpi buruk yang membuat gelisah saat Ceci memejamkan mata. Psikosomatis juga membayangi sehingga gadis itu akan muntah bila menelan makanan.

Padahal Binta juga telah memberikan terapi antidepresan untuk mencegah kecemasan ditambah beberapa obat untuk menekan asam lambung. Rupanya stress yang dialami Ceci tetap meningkatkan produksi asam lambung yang berlebih yang berdampak ia masih sering muntah dan nyeri ulu hati.

"Ce, berceritalah padaku. Aku di sini akan menjadi temanmu. Bila kamu menyimpan luka batinmu sendiri justru akan membuat jiwamu tersiksa. Ibarat kata kamu menyimpan sesuatu yang busuk yang akan ikut membusukkan yang lain." Binta yang duduk di brankar meraih tangan Ceci.

"Kondisinya tidak stabil, Dok. Kadang dia ingat, kadang tiba-tiba saja akalnya menguap. Saya khawatir. Bagaimana kalau dia nanti menjadi pasien jiwa?" rintih Ratna yang kali ini tidak bisa lagi menahan rasa cemasnya sejak pagi tadi.

Mozaik (Repost)-COMPLETEWhere stories live. Discover now