🥀14. Bertemu Ceci🥀

413 87 28
                                    

Ucapan Josua bagai salakan anjing di telinga Arya. Lelaki paruh baya itu mengorek telinga, seolah suara Josua telah memekakkan pendengarannya.

Josua menggeram dalam hati. Ia menyipitkan mata kecilnya sambil menggigit kecil bibir menahan letupan emosi. Ia memang pemalu, tetapi diremehkan seperti itu, darah mudanya menggelegak. Dokter residen itu menghela napas panjang, berusaha menarik bibir membentuk senyuman.

Melihat ekspresi Josua, Arya mendengkus kemudian kembali berjalan menuju ruang rawat inap. Josua pun mengikuti papa Ceci dari belakang yang ia harapkan akan menjadi mertuanya.

Josua sangat paham sifat protective Arya. Sejak lelaki itu memperkenalkan diri sebagai pacar Ceci untuk pertama kalinya, ia mendapatkan tatapan yang sama persis dengan yang sekarang Arya berikan. Sebelum berangkat berkencan, Arya selalu mengingatkan banyak hal seolah Josua sedang membawa gelas kristal yang mudah pecah.

Nyatanya, memang kristal yang Josua genggam itu pecah, hingga remuk ... tak berbentuk.

Pecahannya menggores hati Josua. Bahkan menusuk dan enggan keluar. Menimbulkan kesesakan tiap kali pemuda itu bernapas.

Walau terlihat baik-baik saja, lelaki itu merintih dalam hati. Ia ingin mengulang semuanya. Tetapi apa yang bisa ia lakukan saat nasi sudah menjadi bubur. Merutuki saja, hanya akan membuat suasana hatinya kacau. Tidak mungkin bubur itu berubah menjadi beras kembali. Satu-satunya cara Josua akan berusaha membuat nasi yang terlanjur menjadi bubur itu menjadi bubur ayam yang enak dan mengenyangkan.

Seperti sekarang, Josua berusaha memperbaiki keadaan yang sudah terlanjur kacau. Walau tidak pulih seperti sedia kala, dia akan berjuang membuktikan kesungguhannya.

Langkah mereka berderap menyusuri selasar dan akhirnya masuk ke lorong ruang rawat inap rumah sakit. Dua lelaki itu berjalan cepat tanpa bicara. Masing-masing membawa kepenatan di dalam batin seolah mereka dihimpit oleh dinding lorong yang terasa panjang dan terjal.

Sejurus kemudian, mereka sudah sampai di depan ruang Ceci dirawat. Jantung Arya berderap kencang ketika hendak mengetuk pintu. Ia merasa gugup saat ingin bertemu putrinya seperti dulu saat ia hendak kencan pertama dengan Ratna. Tak dimungkiri penolakan Ceci menggoreskan kepedihan di batinnya. Ia harus tampil sempurna agar tak membebani pikiran sang putri.

Menyugar rambutnya agar tidak berantakan, dia berbalik menghadap lelaki muda yang juga sibuk menata penampilannya sendiri. Arya berdecak, heran kenapa ia gugup hendak bertemu dengan darah dagingnya sendiri.

"Om sudah rapi? Kelihatan kusut tidak?" Arya bertanya bertubi pada pemuda yang menjadi pacar Ceci. Ia bahkan melupakan penolakannya pada Josua beberapa waktu lalu.

Josua mengerjap. Kemudian ia mengulum senyum menyembunyikan rasa geli. Arya memang protective, tapi ia juga teringat Ceci sama protectivenya dengan sang papa. Gadis itu paling tidak suka papanya terlihat tua. Bila ada uban dan kumis, gadis itu akan mengomeli sang papa. Sehingga garis ketampanan masa muda Arya selalu saja masih melekat di wajah karena diperhatikan dua wanita yang sangat mengasihinya.

"Kumis dan jenggotnya udah lebat, Om. Tapi masih ganteng kok. Saya aja kalah." Josua merendah, membesarkan hati lelaki yang sudah berusia separuh abad itu.

"Kamu ini! Om serius! Om belum sempat bercukur! Pasti Ceci akan mengomentari." Arya mengelus dagu dan bawah hidungnya yang terasa kasar.

Josua melepas cangklongan tas di bahu kirinya, dan menarik ransel ke depan. Tangannya sibuk merogoh barang yang selama ini selalu ada di tasnya. Shaving cream dan pisau cukur baru, menjadi barang wajib yang tersedia karena ia kadang harus mandi di rumah sakit.

"Ini, Om. Cukur dulu. Saya biasa bawa ke mana-mana. Karena kadang dari rumah sakit, saya langsung ke rumah Ceci." Josua mengulurkan dua benda itu.

Mozaik (Repost)-COMPLETEOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz