🥀12. Kartu Merah🥀

455 91 34
                                    

Josua hanya bisa mencengkeram paha di balik meja. Bara, sahabat Ceci yang entah kenapa kurang ia sukai itu, tersenyum menyapanya. Ia hanya membalas dengan senyum tipis saja.

Lelaki itu duduk di samping Arya sambil mengobrol layaknya ayah dan anak. Melihat dari ekspresi Bara, Josua menebak bahwa Arya tidak memberitahu kondisi Ceci sebenarnya. Sementara pandangan Arya masih tak lepas dari gerak-gerik Josua dan Binta secara bergantian.

Keberadaan Bara di situ membuat Josua tidak bisa mengutarakan maksudnya pada Radit. Ketika seniornya menanyai kenapa mencarinya, Josua hanya menggigit kecil bibirnya.

Binta menangkap bahwa Josua tak nyaman dengan lelaki yang ada di depannya, sehingga tak lekas menjawab pertanyaan Radit. Akhirnya terpaksa gadis itu angkat suara.

"Saya yang nyuruh Josua nanyain di mana Bang Radit." Seruan Binta menyeruak. Josua menoleh dengan tatapan tanya kebingungan ke arah Binta.

Radit yang mendengar ucapan Binta, menghentikan gerakan tangan yang hendak menyuapkan telur dan kupat ke mulutnya. Ia menyipitkan mata kanannya, merasa salah dengar. Meletakkan sendoknya, lantas menyeruput air mineral kemasan, Radit kemudian bertanya, "Ada apa cari saya?"

Josua mengernyit. Sejak kapan seorang Raditya Wardhana berbicara formal? Lelaki itu bahkan mengorek telinganya merasa aneh.

"Ada yang mau saya omongin lah, Bang. Habiskan dulu makannya. Saya tunggu." Binta pun kembali bersikap biasa. Sedangkan Radit langsung melahap makannya karena penasaran dengan apa yang akan dibicarakan oleh Binta.

Setelah itu, suasana kembali canggung. Josua bingung hendak mengajak ngobrol apa. Bagaimana kalau ditolak lagi? Pikiran itu terlintas di kepala. Memang antara pemalu dan pengecut, tipis batasnya.

Melihat kekakuan di meja makan itu, Binta yang supel pun mengajak mengobrol Arya. "Om, katanya suka beternak burung, ya?"

"Iya. Kok Dokter tahu?" tanya Arya.

"Aduh, Om. Panggil Binta aja. Saya ini teman baiknya Josua sejak kecil. Orang tua kami sahabatan," tutur Binta dengan suara renyah. "Josua cerita, Om pecinta Love Bird. Josua sampai nyoba melihara burung loh. Tapi, akhirnya mati karena dia nggak ada waktu ngrawat habis ketrima PPDS," imbuhnya.

Wajah Josua memerah. "Apaan sih, Bin? Gitu aja diceritain." Josua menggaruk tengkuk tak nyaman dengan obrolan Binta.

Arya mendengkus mendengar cerita Binta. Ia mengangguk-angguk. "Memelihara hewan itu dibutuhkan ketelatenan, kepedulian, dan tanggung jawab. Seperti cinta, juga membutuhkan ketelatenan, kepedulian dan tanggung jawab agar yang kita cintai nyaman dan aman berada di sisi kita."

Mata Arya memandang lurus Josua, seolah kata-kata itu ditujukan pada pemuda itu. Josua menebak bahwa Arya meragukan kesungguhannya terhadap Ceci. Seketika darahnya mendidih, saat ia dianggap sebagai lelaki tak bertanggung jawab. Josua memang pemalu. Tetapi dia akan marah bila sengaja dipermalukan

"Maksud Om saya tidak bertanggung jawab begitu?" Suara Josua lantang, ketika dia membalas tatapan Arya.

"Kapan Om mengatakan begitu?" tanya Arya dengan tenang. Ia mendongak, sambil tersenyum saat secangkir kopi panas diantar ke mejanya, beserta semangkuk soto Betawi yang ia pesan.

Wajah merah Josua yang awalnya karena malu, kini disebabkan oleh amarah yang tiba-tiba tersentil. Ia tahu Arya seolah menyalahkannya karena terlambat menjemput.

"Om tidak mengatakan secara langsung. Tapi analoginya seolah mengarahkan bahwa dengan saya mematikan burung itu, saya tidak bisa menjaga cinta saja. Seperti saya tidak bisa menjaga Ceci," sahut Josua.

Binta mencubit pinggang Josua, tetapi lelaki itu menepisnya. Dalam kondisi otak yang semrawut dan hati yang kacau, Arya seolah menambahkan minyak yang membuat hatinya semakin terbakar oleh kekecewaan yang meletup menjadi amarah. Tak perlu ditekankan, Josua kini sudah diliputi oleh rasa bersalah yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak setiap malam.

Mozaik (Repost)-COMPLETEजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें