Kesepakatan

1.3K 210 68
                                    

Tzuyu POV

Sekarang bulan Juni, artinya sudah tiga bulan semenjak aku di rumah saja.

Tapi semua baik-baik saja.

Aku masih tetap belajar untuk persiapan UTBK dan bahkan kemarin sudah selesai mendaftar, dan Jihyo masih sibuk dengan kuliah onlinenya. Kalau malam, kami suka video call. Kadang juga kami nonton film bersama secara virtual.

Hubunganku dan Jihyo aneh namun juga menyenangkan. Aku paling nggak sanggup kalau sudah mendengar suaranya yang serak ketika sudah mengantuk. Rasanya aku ingin memeluknya, namun sayang yang ada di hadapanku hanyalah sebuah ponsel dengan wajah Jihyo di layarnya yang memang sengaja ku sandarkan ke guling. Pokoknya sengaja. Biar seolah-olah ia sedang berbaring di hadapanku. Rasanya kalau begini terus lama-lama aku gila.

Malam ini papa pulang setelah tiga bulan terjebak di Taiwan. Mama juga di rumah dan memang selalu di rumah sih. Semua orang jadi di rumah berkat COVID-19. Aku nggak tau harus bersyukur atau bagaimana karena rasanya pasti aneh jika bertiga di rumah begini dalam waktu yang lama. Pokoknya aneh aja. Soalnya aku sudah terbiasa jauh dari papa.

Sekarang aku sedang duduk di meja makan sambil menunggu papa pulang. Mama bilang papa minta kami untuk menunggunya. Aku pun menurut. Aku sibuk membuka sosial media dan apapun itu untuk membunuh rasa bosanku. Tak lama papa datang. Ia langsung mandi setelah itu baru bergabung bersama kami.

"Lama ih, Pa!" Kesalku. Memang papa lama sekali kalau mandi. Seperti anak gadis saja.

"Laper banget tah? Nggak sabaran banget" balas papa. Bukan laper banget sih, cuma aku sudah buru-buru pengen ke kamar. Aku kangen Jihyoku.

"Ya udah ayo makan!" Ajak papa. Mama langsung membantu papa mengambilkan makanan ke piringnya. Perhatian kecil mama yang seperti itu benar-benar mengingatkanku pada Jihyo. Aku jadi kangen. Ya walaupun memang selalu kangen. Apalagi kalau mengingat tatapannya saat melihatku yang sedang makan. Tatapan yang seolah tidak ada hal yang lain yang lebih menarik selain diriku. Aku bisa merasakan kasih sayangnya hanya dengan tatapan itu.

Ya Tuhan, aku benar-benar merindukannya.

"Kamu daftar UTBK?" Tanya Papa. Pasti Mama sudah cerita sih. Aku mengangguk.

"Ya udah. Tapi kalau nggak keterima, kuliah di luar ya?" Tanya Papa. Membuatku hampir tersedak karena kaget. Serius dulu. Serius haruskah aku kuliah di luar negeri?

"Yang bener pa?" Kutanya. Papa mengangguk mantap. Papa suka bercanda, tapi kalau soal pendidikan dia sama sekali nggak suka bercanda. Aku heran kok bisa aku punya papa seperti ini. Papa juga pasti heran kok bisa punya anak seperti ini.

"Masa gitu sih pa?" Kutanya sekali lagi. Papa masih saja mengangguk. Heh. Tak bisakah dia menggeleng?

"Apa masalahnya kalau di luar?" Tanya Papa. Dan aku kebingungan. Masa iya harus ku jawab alasannya adalah karena aku punya pacar dan aku nggak sanggup jika harus berjauhan terus sementara pacarku sendiri itu adalah Jihyo? Bisa digampar bolak-balik sampai mampus kalau ku jawab begitu.

Tapi kalau nggak punya alasan mana mungkin papa mau mengubah keputusannya. Aku tau benar papa orangnya kukuh pada pendiriannya.

"Aku pengen kuliah di sini aja hehe" jawabku akhirnya dengan kekehan garing yang entah tujuannya apa. Jawaban aneh. Jawaban yang nggak menguatkan argumenku sama sekali. Bagus sekali.

Oh Tuhan kemana larinya kemampuan debatku?

"Ya udah usaha dulu ya! Kalau nggak keterima di PTN pokoknya kuliah di luar!" Ucap papa. Dipikir-pikir papa baik masih memberiku kesempatan. Aku pun menyetujuinya.

My Dearest Cousin (Jitzu)Where stories live. Discover now