If

1.1K 206 81
                                    

Tzuyu POV

Pesawat yang kunaiki mendarat di Bandara YIA. Setelah empat tahun sengaja tidak kembali, akhirnya aku kembali lagi. Kali ini agak berbeda karena tidak ada yang menjemputku. Biasanya ada yang menjemput dan tersenyum malu-malu sambil menyemprot tubuhku dengan desinfektan lalu bilang:

'Sembarangan main peluk aja!'

Aku terkekeh sendiri. Baru mendarat saja aku sudah mengingat dia lagi. Bagaimana kalau aku ke rumah eyang? Ke tempat di mana untuk pertama kalinya aku bertemu dia.

'Biar saya bantu mbak!' Katanya waktu itu dengan wajah anggun beserta rambut yang di kepang dua. Lalu aku malah membalasnya ketus 'Gue nggak setua itu!'

Kalau dipikir-pikir dulu aku menyebalkan ya. Padahal dia baik sekali padaku. Menawariku memakai hotspot pribadi untuk menghubungi Elkie segala.

'Mau pakai hotspot saya?' Aku setuju dan menerima tawarannya. Walaupun sebenarnya nama hotspot dia waktu itu sempat memancing emosiku sih

'Gratisan maunya?' Tanyaku, dia mengangguk polos tanpa dosa.

Selama ini aku belum pernah menemui lagi password norak seperti miliknya. Eh sayang dan dasar nggak modal. Aku ingat betul akan hal itu.

Aku terus berjalan menyusuri koridor bandara. Dari tadi supir taksi menawariku jasanya. Ku hampiri salah satu dari mereka.

"Selamat pagi, pak. Boleh saya tau tempat dimana bisa merental mobil?"

*****

Aku memasuki mobil yang telah ku sewa. Kemudinya ada di sebelah kanan, sudah lama aku tidak mengendarai mobil dengan kemudi di sebelah kanan. Kemudi mobil di eropa memang berada di sebelah kiri. Itu artinya aku harus memindah parseneling gigi dengan tangan kiriku dong?

'Tzu, ini mindah giginya gimana?' bayangannya muncul lagi, lengkap dengan wajah bingung dan khawatirnya yang menggemaskan.

'Kamu injek koplingnya aku yang mindah giginya' Ya mungkin jika sekarang posisinya masih sama seperti dulu, ini akan menyenangkan.

'Kan, berhasil! Ayo kita main film fast and furious aja Jihyo, nggak usah kuliah! Udah cocok!'

Hahaha diingat-ingat dulu rupanya aku konyol sekali ya. Mobil ku jalankan pelan-pelan, sambil beradaptasi dengan jalanan kota Jogja yang kian ramai.

Kota ini masih hangat. Di sepanjang jalan juga masih terdapat banyak warung makan. Mangut lele misalnya. Ya walaupun aku sukanya mangut belut sih. Belut yang diambil sendiri dengan tangan kosong di sawah atau belut yang dibeli dari pasar yang ternyata sudah dibersihi.

'Bude, Tzuyu mau belut!' katanya waktu itu saat kami di pasar. Air mataku hampir saja jatuh nih.

Sebenarnya aku lapar, tapi kalau pagi-pagi makan mangut lele rasanya terlalu berat, jadi lebih baik aku mencari bubur ayam. Iya, akhirnya aku menemukannya di perempatan dan makan di sana. Buburku diaduk, tidak seperti dia yang dibiarkan begitu saja.

Selesai makan aku melanjutkan perjalananku. Tak sengaja aku melewati taman pintar. Dulu aku benci sekali tempat itu, tempat di mana dirinya menemaniku beli banyak buku. Omong-omong, apa TTS satu kardus milik Bude Ratih sudah terisi semua?

Kata Mama, Eyang dan Bude Ratih masih sehat. Yang sudah mati adalah Jitzu, ikan cupang kesayanganku. Ikan cupang dengan badan berwarna biru dan sirip berwarna merah. Warna kesukaan aku dan dia. Sudah lama sih sekitar tiga tahun yang lalu. Aku tidak ikut menguburnya, lagi pula kata Mama bibi membuangnya ke tempat sampah.

Sambil bersenandung kecil, aku terus mengemudi, hingga akhirnya berhenti di salah satu tempat tujuanku. Tempat yang benar-benar ingin kukunjungi. Aku masuk dan membeli tiketnya. Masih sama, belum banyak yang berubah. Masih ada batu tempat dia suka naik dulu, ya hutan pinus.

'Eh licin banget ini!'

'Hhhh.. Kenapa naik-naik sih? Nanti jatuh gimana? Turun ah!'

'Biarin sih, sekali-sekali aku jadi orang yang lebih tinggi dari kamu!'

Iya.

Dia memang pendek.

Sampai suka minum hilo teen segala.

Tapi dia enak dipeluk.

'Nah itu! Sekarang gantian dong aku jadi yang lebih tinggi waktu meluk, sini peluk!'

Hahaha gemas. Nada dan cara bicaranya pun masih terekam jelas di ingatanku. Begitu pula ekspresi wajahnya. Apalagi ketika kami berdiri di ujung jurang ini, tempat dimana aku berdiri sekarang.

'Kalo udah mapan aku punya cita-cita untuk nikah di sini!' katanya, tapi malah kuajak bercanda.

'Di sini banget?'

'Iya'

'Di sini? Harus di sini? Di pinggir jurang gini? Nggak boleh agak ke tengahan dikit?'

Lalu dia tertawa.

Huh bahkan candaan itu sudah nggak lucu lagi bagiku sekarang.

Aku lanjut melangkah. Menendang kerikil sesukaku. Menikmati semilir angin yang semakin terasa. Ternyata hari sudah siang ya. Harus kemana aku setelah ini?

"Tzuyu?" Panggil seseorang. Membuat darahku berhenti mengalir untuk sesaat. Suara itu, suara yang amat sangat ku kenal. Dia ada di sana. Di hadapanku dengan jarak 10 meter. Aku tergagap. Rasanya lidah ini terlalu kelu untuk memanggil namanya.

"Ji-jihyo?"

___________
13-12-2020

My Dearest Cousin (Jitzu)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora