7

16.1K 1.2K 61
                                    

Hallo! Ketemu lagi 😁 tapi nggak tahu mo ngomong apa hehehe. Dah langsung baca aja. Vote dan komen jangan lupita ok! Ciao

💔💔💔

"Kamu nggak usah ke toko saja, Cha. Belakangan ini kamu ngurus aku nggak maksimal. Aku nggak suka itu."

Mata yang sudah terpejam lelah menemani aktivitas ranjangnya, sontak terbuka lebar. Aku menghadap Mas Hakim dengan pandangan protes. Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba dia memintaku tak ke toko? Padahal dia tahu dari toko itu aku mempunyai penghasilan sendiri. Lagipula sungkan sama Serly jika hanya ongkang-ongkang kaki tapi dapat gaji.

Memang benar belakangan ini aku seperti cepat capek, tubuh juga lemas mungkin karena aku tak menyentuh nasi. Melihat hasil olahan padi itu membuatku mual. Tak hanya itu, terkadang aku tertidur di sela-sela sesi percintaan kami, tapi bukan berati meminta lepas dari toko solusinya. Bisa saja aku lelah karena meladeni stamina dia.

"Biar aku yang bilang sama Serly, dia pasti ngerti," putusnya final.

"Tapi, Mas, toko itu ...."

Kilatan setajam samurai dari matanya kembali menutup mulutku. "Jangan membantah, Cha. Bapak sama Ibu sudah pengin gendong cucu. Lagian aku juga ingin segera punya momongan. Ini sudah lebih dari setahun."

"Tapi kenapa? Aku bosan kalau nggak kerja, Mas. Banyak kok wanita kerja hamil," protesku setelah mampu berbicara. Aku tahu sebagai istri harus patuh pada suami tapi ini terlalu berat untuk meninggalkan toko yang kurintis dari nol.

"Kamu bisa mengerjakan banyak hal di rumah."

Banyak hal? Banyak hal seperti apa maksudnya? Jangankan mengelap debu dengan kain, menyapu rumah saja tak dia perbolehkan jika dia di rumah. Sungguh aku tak tahu cara berpikirnya. "Mas, aku suka dengan kerjaanku. Aku janji bakal utamain kamu, tapi biarin aku tetep ke toko. Aku nggak enak juga sama Serly."

Pria itu membelakangiku, hingga hanya punggung cokelatnya yang menjawab pertanyaanku. Ya Tuhan. Aku sudah menuruti semua aturan dan keinginan dia, tak bisakah
aku mendapat reward untuk kepatuhanku padanya?

Aku terus menatap punggung Mas Hakim hingga luruh air mataku. Kenapa harus pria egois sepertinya yang menjadi suamiku? Dengan ke toko dan bertemu orang-orang merupakan sedikit hiburan bagiku dan membantu mengenyahkan rasa tertekan dalam hati. Tertekan karena mencintainya sendiri. Meraba-raba maksud dari pernikahan ini. Menerka-nerka bagaimana perasaan dia. Namun, kesenangan itu kini dirampasnya.

****

Pagi ini aku terbangun dengan badan lesu, lemas, kepala sedikit pusing, dan perut yang rasanya seperti diaduk-aduk. Ah, mungkin aku akan sakit, sebab kalau pergantian musim begini, setidaknya satu kali aku drop. Keluarga, dan orang-orang terdekat tahu hal itu.

Sedikit memaksa, aku menjauhkan tubuhku kasur empuk nan lembut itu. Meraih daster satin beserta dalamannya di ujung ranjang. Mas Hakim? Pria itu terlelap dengan posisi telungkup. Bayangan hitam di sekitar dagu terlihat menambah pesonanya. Meski kulitnya cokelat tapi bersih dan look-nya mampu menarik hati wanita mungkin termasuk Mbak Amel? 

Mengusir malas yang mendera dan keinginan untuk kembali merebahkan diri di kasur, aku segera berjalan ke kamar mandi setelah sebelumnya memakai gaun tidur tersebut.

Aku tak berlama-lama di kamar mandi, selagi pria itu belum bangun aku bisa membantu Bik Mah masak. Segera aku keluar kamar setelah berganti baju, menghampiri pria paruh baya tersebut, dan dalam dia membantunya. Aku tersenyum saat dia menoleh. Bik Mah sudah tak melarang lagi sebab percuma, aku akan mengabaikan larangannya selama Mas Hakim belum bangun.

Tepat makan siap dihidangkan terdengar teriakan pria itu karena tak menemukanku. Tergesa-gesa aku ke kamar, dia menoleh, bertelanjang dada dan hanya menggunakan handuk di pinggul. Astaga. Kakiku terasa lemas seakan tanpa tulang penopang. Pemandangan itu sudah aku lihat setiap hari tapi tetap saja wajahku memanas, pipi seolah refleks menyebutkan tinta merah, dan detak jantungku terus berdetak kencang.

(Bukan) Pernikahan TerpaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang