24

13K 933 115
                                    

Holaaa! Lama kagak muncul yak. Hehehe selain emang beneran riweh di rumah, sempat drop juga semingguan. Alhamdulillah sekarang udah ok.

Langsung baca dah. Lope-lope sekebon 😘😘

❤️❤️❤️

Terbangun dari tidur dengan suhu tubuh di atas normal sangat tidak nyaman dan itu yang sedang aku rasakan. Setelah membuat geger keluarga dengan perpisahan kami, selang dua hari dari pembicaraanku sama Mbak Amel, aku demam dan mengalami pendarahan yang disertai kram perut.

Waktu itu cuma berdua sama Bunda, jadinya panik. Bunda pun menelepon Ayah juga Mas Hakim. Hanya dalam waktu singkat pria itu sampai dan langsung membawaku ke klinik terdekat. Meskipun tidak membahayakan sang janin tapi dokter minta untuk bed rest total sampai dirasa kondisiku membaik. Dokter juga memberi obat penguat kandungan dan menyarankan untuk tidak berpikir terlalu berat. Namun, bagaimana mungkin tidak berpikir berat jika sebentar lagi kami berpisah.

Harusnya aku senang lepas dari dia. Lepas dari dikte keluarga tapi kenyataannya berbeda. Berpisah membuatku semakin nelangsa. Aku yang terbiasa bangun melihatnya, obrolan kami sebelum tidur atau setelah memenuhi keinginan dia, usapan hangat di perut, dan celotehnya dengan bayi ini, membuatku rindu.

Seperti saat ini, dia begitu fokus pada laptop-nya dan tidak menyadari aku mengamatinya dari tadi tapi pura-pura berbaring seperti ini juga membuat capek. Aku bergerak mencari posisi nyaman. Mas Hakim rupanya melihat karena itu dia menghampiriku. Ia membantu mengatur bantal untuk sandaran. Tangannya menempel di dahi mungkin mengecek suhu badanku.

"Alhamdulillah agak turun panasnya. Kamu mau minum? Mas isi dulu tekonya." Ia keluar kamar seraya membawa teko kaca kosong. Tidak lama ia masuk. Menuang air jernih itu ke gelas. Aku menandaskan hingga separuh.

Ia duduk menghadapku. Tangannya terulur menggenggam tanganku. "Kenapa bisa sampai sakit? Mas udah turuti maumu biar kamu seneng, tenang, nggak capek hati, dan pikiran. Nggak perlu lihat Mas yang bikin kamu emosi terus, Cha," ujarnya dengan tatapan sendu. "Harusnya kamu seneng, Cha. Nggak kayak gini.  Bebas. Nggak ...."

Kalimatnya terputus dan hanya terdengar helaan napas panjang saat aku merangsek memeluknya. Aku begitu erat mendekapnya karena takut dia pergi. Awalnya aku berpikir sama dengan yang ia katakan, nyatanya hatiku memberontak. Ia ingin mencari soulmate-nya dan itu pria ini.

"Aku kangen," ucapku sesenggukan. Berpisah membuatku tak malu untuk mengakui isi hatiku. Aku takut dia akan pergi meninggalkan aku. "Aku nggak mau pisah." Meskipun terbata-bata aku yakin dia mendengarnya.

"Coba dipikir lagi. Jangan gara-gara kebawa suasana kamu nyesel nantinya."

Aku menggeleng. Dia seolah tak percaya dengan kata-kataku karena itu aku menarik diri, menatapnya dalam. "Mas, nggak percaya?" tanyaku dengan berurai air mata. "Aku nggak mau pisah. Aku cuma kebawa emosi aja. Jengkel kalo inget Mas sama Mbak Amel," bantahku. "Emang, Mas, pikir aku kayak gini gegara apa? Ya kepikiran pisahan ini. Anakmu juga nyariin ayahnya terus. Dia nggak mau kompromi. Aku sampek bingung harus gimana."

Mas Hakim terlihat menarik napas dalam-dalam. Tangannya menggenggam tanganku. Tatapannya lurus padaku. "Bukan nggak percaya tapi Mas nggak mau kalo kamu marah-marah, apalagi sampai tertekan terus ngefek ke dia. Mas ...."

"Ya kalo marah dibujukin, Mas, bukan ditinggal," protesku. "Itu namanya kode minta dimanja-manja. Dibujuk nggak malah diajakin berantem gini."

"Ya kan Mas nggak paham kayak gitu-gitu, Cha."

Hatiku langsung kesal dengarnya. "Nggak paham gimana? Emang sama yang dulu gimana? Masa gitu aja kudu dikasih tahu," sewotku dengan wajah tak bersahabat meskipun masih mewek.

'Please ya iblis nggak usah ngipasin aku. Ini mau baikan bukan berantem!'

Terdengar helaan napasnya lalu tangannya menyelipkan helain rambutku yang lepas dari ikan ke belakang telinga. "Kan. Itu kamu udah emosi lagi. Kasihan dia kalo kamu gampang marah-marah terus ...."

"Ya disabarin!" sambarku memotong ucapan dia. "Namanya bumil emosinya gampang naik turun. Sabar. Anggap aja ini tuh bales dendam aku sama, Mas."

"Iya ya. Udah nggak usah nangis lagi."

Aku mengusap cepat air mata dan kembali memeluk dia. Ya ampun rindu sekali dengan harum tubuhnya. Parfum yang dia pakai begitu menenangkan. Dan, hei anak ini rupanya anak ini mengenali wangi ayahnya karena itu dia anteng.

"Anak, Mas, anteng bener. Tahu aja kalo bapaknya di sini. Kalo biasanya pada bucin sama Jimiin atau Jungkook, eh dia bucinnya sama, Mas. Parah." Mas Hakim terkekeh mendengar gerutuanku. "Nggak usah ketawa. Dia beneran sekutunya, Mas."

"Iya nanti Mas bilangin biar dia bucin sama bundanya."

Ya ampun suaranya bikin hati adem, mungkin karena beberapa waktu tak mendengarnya. Di tengah nikmatnya belaian dia tiba-tiba satu pikiran muncul. Aku mendongak menatapnya. "Mas, bucin ndak sama aku? Bucin mana sama mantan, Mas?"

Dia tak menjawab. Pandangannya menerawang seolah pertanyaanku membuka memori yang ingin dia lupakan. "Udah nggak usah dijawab. Kelamaan nunggunya keburu lapar. Mas, bikin apa?" tanyaku seraya membuka selimut di tubuhku.

Mas Hakim menahan gerakanku saat ingin turun. "Mau ke mana?"

"Pipis."

Dia berdiri membantuku ke kamar mandi padahal aku sudah bilang bisa sendiri tapi dia tetap menuntunku seperti orang sakit. Setelah bersih-bersih aku kembali ke kasur menunggu dia membawa makanan.

Selama makan dia mengamatiku intens sampai-sampai aku jengah. "Jangan dilihatin terus nanti aku gosong," pintaku tapi dia sepertinya tidak paham maksudnya. "Malu aku tuh. Nih pipiku sampai panas gini. Kalo terus-terusan bisa gosong nanti." Aku menyingkirkan piring kotor dari pangkuanku. "Mas, tidur di sini?"

Aku berharap dia bersedia sebab selama bed rest dia akan pulang setelah aku tidur dan datang pagi-pagi sekali. Kenapa aku tahu? Karena Bunda yang bilang. Tak hanya itu, waktu tengah malam aku terbangun ingin ke kamar mandi, Bunda yang membantu.

Senyumku merekah saat dia mengangguk dan aku seperti meledak karena bahagia, seperti remaja yang mendapat balasan salam dari senior yang disuka. Ya ampun receh banget aku ini. "Beneran?" Aku kudu memastikan agar kebahagiaanku tak sia-sia. "Jadi baikan?" tanyaku lagi.

"Iya, baikan."

Ya ampun petasan di hatiku langsung menyala bersahut-sahutan. Senyum tak luntur dariku seperti menang undian mobil. Tidak-tidak lebih dari itu sepertinya. Ya, lebih dari itu. Bagai ditembak oleh kakak OSIS di hadapan siswa lainnya. Ya seperti itu, vibes-nya begitu hebat tak terbendung.

Aku menghadapnya dengan mata berbinar dan pipi mengembung. Netraku tak lepas dari wajahnya dan rasa hangat menyebar kala dia mengecup bibirku. Awalnya hanya kecupan ringan tapi akhirnya berubah menjadi ciuman yang menuntut.

Mas Hakim melepaskan tautan bibir kami ketika tubuhnya bergetar hebat. Napas kami saling berkejaran meraup oksigen dan meredakan panas di raga. Pria itu kembali melahap bibirku sampai aku memukul badannya.

"Maaf."

Kening kami saling menempel. Dia memelukku erat tanpa menekan perutku yang membuncit. Pelukan Mas Hakim sedikit mengendur saat getaran dan panas tubuhnya mereda.

"Shit!" umpatnya lirih.

Aku tertawa keras mendengarnya. Pasti tidak nyaman buatnya harus menahan sesuatu tanpa bisa melepaskannya.

"Ya ampun. Maaf, Mas, nggak ...."

"Nggak apa-apa. Pasti nggak nyaman, ya?" Dia mengangguk. "Siapa suruh ngajak berantem. Puasa deh."

Aku senang sekali melihatnya tersiksa begitu. Ya Tuhan, ampuni aku yang durhaka pada suami.

"Seneng kamu, ya?"

"Heum. Sukurin."

Tbc.

Yang senyum-senyum sendiri, kita satu server 🤣🤣

Jangan lupa jaga kesehatan ya sayang-sayang aku. Bye 😘😘😘

(Bukan) Pernikahan TerpaksaWhere stories live. Discover now