Bab 3

17.9K 1.2K 27
                                    


Dengan rindu yang besar—seminggu libur menikah—aku masuk ke toko tempatku mencari rupiah dan bertemu banyak orang, terlebih jika pelangganku membawa bayi mereka, sungguh menyenangkan.

Kedatanganku belum disadari Selly sebab dia duduk membelakangi pintu toko yang terbuka. Fokusnya terseret pada buku besar keuangan toko. Akhirnya bulan memang waktunya untuk memeriksa keluar masuknya uang di toko. "Dor!" teriakku sambil menepuk kuat pundak Serly.

Serly kaget dan keluarlah umpatan-umpatan khas orang jawa timur. Setelahnya ia memukulku bertubi-tubi karena jengkel. Ah, melihatnya kesal membuatku terhibur dari penatnya hariku pagi ini.

"Gila! Mo bikin koit? Ini jantung nggak ada onderdilnya, Nyet. Main kagetin aja," omel Serly setelah menandaskan air mineral kemasan botol kecil. "Kalo mo mati, sono mati sendiri. Aku masih doyan nasi pecel, gila aja lo!"

"Maaf, Ser. Tadi niatnya mo guyonan. Maaf," ucapku dengan raut bersalah. Iya, memang tidak ada niat membuat temannya itu jantungan ternyata berdampak buruk.

Tampak Serly menghela napas dalam-dalam saat melihatku menunduk. "Udah, sih, aku kaget doang."

Aku pun mendongak menatapnya dengan rasa terima kasih. "Janji nggak bakal gitu lagi, deh."

Tampak tatapan bingung dari Serly saat menyadari jika aku tidak sekedar berkunjung. "Btw, kok udah masuk aja. Emang Mas Hakim kasih izin?"

Aku mengangguk dengan tetap fokus pada layar komputer mengecek barang-barang yang harus kembali sambil menelepon atau mengirim pesan kepada penyewa. "Kasih tapi ya gitu syaratnya buanyak. Nggak apa-apa, sih, asal bisa kerja. Aneh gitu kalo diem di rumah. Badan jadinya capek semua."

"Jelas capek orang skindidadap muluk. Manten baru mah bawaannya di kamar muluk."

Wajahku jelas-jelas merah seperti tomat busuk ketika Serly meledekku terang-terangan. Mau mengelak juga tak mungkin karena benar yang dia katakan. Selama seminggu ini aku keluar kamar jika lapar atau saat Bik Mah perlu sesuatu denganku, selebihnya menemani aktivitas Mas Hakim entah di ranjang atau duduk di sampingnya waktu dia memeriksa laporan dari karyawannya.

Kukira Mas Hakim hanya seorang manager di kantor cabang jasa pengiriman, nyatanya ia mempunyai usaha sampingan. Dua tempat laundry dekat kampus, beberapa stand jus di depan mini market, entah dia memiliki usaha lain atau tidak, hanya itu yang aku tahu.

"Kan ngelamun. Dah pulang aja kalo masih pengin ndusel. Aku bisa kok di toko sendiri."

"Apaan, sih," elakku.

Serly melihatku sebentar lalu kembali menyiapkan barang-barang yang akan disewa untuk putra-putri mereka. "Seriusan, Cha. Kamu kalo mo balik nggak apa-apa, kok. Tapi ya ...." Serly meletakkan kotak bouncer di meja setelahnya ia duduk di kursi seberangku. "Aku lihat kamu udah mulai terbiasa sama pernikahan ini. Udah bisa nerima?" tanyanya dengan tatapan ingin tahu.

Wajar memang bila dia ingin tahu, sebab yang Serly tahu aku ragu dengan pernikahan ini. Masa pacaran sampai jenjang nikahnya juga terbilang singkat sekitar tiga bulan. "Mau nggak mau, kan? Jadi ya uda terima aja. Nyoba buka hati buat dia, jadi istri yang baik buat dia. Jalani aja lah. Mo gimana juga kalo dah jodoh ya jadi."

Serly mengangguk. "Iya, sih. Aku doa kan yang terbaik buat kalian."

🌛🌜

"Cha!"

Teriakan Mas Hakim membuatku dan Bik Mah menghentikan aktivitas kami di dapur dan saling pandang. "Ocha ke kamar dulu, ya, Bik. Nanti Bibik langsung istirahat aja setelah kunci pintu sama pagar. Maaf, ya, Buk, nggak bantuin." Kupacu kaki bergegas ke kamar tanpa mendengar jawaban Bik Mah. Aku tidak mau urusan menjadi panjang. Mas Hakim memang tidak banyak bicara, tapi sekalinya bicara membuatku tak berkutik.

"Kenapa teriak-teriak, Mas? Ini udah malem, lho, nggak enak sama tetangga." Aku menghampirinya di ranjang dengan laptop di pangkuannya. Ia menatapku dengan wajah tak bersahabat, mungkin dia dalam suasana hati tidak baik.

"Apa perlu nambah orang buat bantu-bantu Bik Mah?"

Rupanya ... aku paham makna ucapan Mas Hakim. Hal itu membuatku menghela napas dalam-dalam seraya memikirkan bagaimana caranya membuat dia mengerti, jika membantu mencuci piring bukan pekerjaan berat yang menguras tenaga.

"Nggak. Cukup Bik Mah aja." Aku merangkak di kasur mendekatinya, duduk di sebelahnya, dan itu cukup ampuh membungkam bibirnya yang baru saja akan melontarkan kata-kata nyelekit.

Kuraih ponsel di nakas, membuka pesan yang belum sempat aku baca. Setelah membalas pesan-pesan terutama dari pelanggan toko, aku berseluncur ke Instagram dan Twitter. Suasana hatiku cukup terhibur membaca guyonan-guyonan di Instagram sampai lampu besar dimatikan dan berganti lampu kecil.

"Lho, udah selesai?" Aku meletakkan ponsel di nakas sebelum menata bantal. Setelahnya aku ke kamar mandi membersihkan wajah dan memakai krim wajah.

Aku menyusup di bawah selimut sambil merapatkan tubuh ke Mas Hakim. Kami tidur berhadapan. "Mas, bantu-bantu Bik Mah nggak bikin aku capek. Aku masih bisa urusin Mas, jadi tolong jangan buat Bik Mah nggak enak." Aku memohon agar ia meluluskan permintaanku. Aku tidak biasa dilayani, karena itu tanganku terasa gatal untuk membantu.

Mas Hakim tidak langsung menjawab ku, ia menutup matanya beberapa waktu kemudian menatapku. Jantungku berdegup kencang menunggu ucapannya. "Kalo gitu kamu di toko sampai makan siang saja. Aku jemput pulang."

Darah sontak naik ke ubun-ubun. Ingin sekali aku melempar wajah tampannya dengan sandal. Astaga! Mengapa aku harus menikah dengan orang yang arogan sepertinya. Sabar, bisik batinku menenangkan. Dengan menghirup udara banyak-banyak, aku mulai menurunkan emosiku.

"Tapi, Mas ...."

"Ambil atau turuti omonganku."

Huft. Benarkan? Aku tak bisa membantahnya. Dia selalu bisa mematahkan permintaanku tanpa menimbulkan kerugian untuknya. Merasa kesal olehnya, aku berbalik memunggungi dia. Biar saja dikata durhaka asal aku tak melihat wajah arogannya. Dia benar-benar membuatku kesal setengah mati.

"Cha." Kuabaikan panggilannya dengan pura-pura tidur. Merasa tak mendapat jawaban, dia merengkuhku ke pelukannya. Tubuhku menegang kala napas hangatnya menyentuh leher belakangku.

"Mas ...."

Kepura-puraanku kalah dengan kegigihan Mas Hakim menggoda tubuhku. Tangannya bergerak aktif di dadaku. Jari-jarinya mengusap kasar kadang lembut hingga gairahku terpatik. Desahanku seolah terompet kemenangan untuknya dan tak membutuhkan waktu lama dia menyatukan diri dalam tubuhku.

Kesal dan marah yang tadi menggelegak kuat luruh dalam pusaran gairah. Mas Hakim mampu membuatku melupakan semuanya, sampai-sampai aku berpikir jika dia pernah melakukannya sebelum menikah. Entahlah, pikiran kosong dan hanya rasa puas yang menguasai diriku.

"Tidurlah sebelum aku memintanya lagi."

🌛🌜

Hakim ye diem-diem ternyata doyan juga 🤭🤭 kasih jeda kali tong! Pingsan ntar itu anak orang. Babay😚

(Bukan) Pernikahan TerpaksaWhere stories live. Discover now