2

20.3K 1.4K 59
                                    

🌛🌜

Akhirnya aku bisa bernapas lega. Serangkaian acara yang beruntun ini—pengajian, lamaran, nikahan, dan selamatan rumah baru—membuat tubuhku lelah. Aku sama sekali tidak mengira acara-acara itu menguras tenaga dan emosi, terlebih Mas Hakim.

Aku menghentikan kegiatan membongkar koper saat dia masuk setelah mengantar keluarganya pulang. Sedang keluargaku sendiri sudah lebih dulu pamit. Ia melewatiku begitu saja tanpa ingin menegur. Teringat pesan Bunda tugasku sebagai istri, mau tak mau menekan harus ego membuka obrolan lebih dulu.

"Semua keluarga, Mas, sudah pulang?" tanyaku sambil menghampiri dia, membantu membuka jasnya dan menggantungnya di dinding sisi lemari.

"Sudah."

Aku menghela napas. Selalu seperti itu, menjawab singkat ucapanku. "Mas, mau mandi atau makan dulu? Dari tadi aku lihat Mas belum makan."

"Minta Bik Mah siapin makannya, kamu urus aku."

Aku baru tahu jika dia otoriter. Paham istri harus melayani suami rupanya telah tertanam kuat di pikirannya. Tetapi aku tidak heran dari mana ia dapatkan. Ibu mertuaku
melakukan hal yang sama terhadap ayah mertuaku.

Aku keluar kamar. Masih terlihat kesibukan petugas WO membereskan sisa-sisa acara resepsi sekaligus syukuran rumah baru yang kami tempati. Aku ke depan memastikan mereka mendapat minum dan makanan yang cukup. Lalu ke belakang mencari Bik Mah, minta
menyiapkan makanan untuk Mas Hakim dan mengantarkan
ke kamar.

"Kenapa lama sekali?" tanyanya dengan pandangan tak suka. Ia menegakkan tubuh dari sandaran sofa. Mengamatiku tanpa jeda saat masuk sampai meletakkan nampan di meja depannya.

Kukira dia sudah ke kamar mandi, ternyata masih bertahan di sofa dengan baju yang sama saat aku tinggal tadi.

"Lihat makanan buat petugas WO dulu, Mas. Kasihan kalau makanannya kurang."

Aku melanjutkan membongkar koper saat ia berdiri di hadapanku. Perbedaan tinggi badan kami membuatku harus mendongak. Melihatnya dengan tatapan bertanya, sampai beberapa saat akhirnya aku tahu maksud Mas Hakim.

Aku menghela napas, mulai membuka kemeja putih miliknya.
Satu per satu kancingnya lepas dari lubangnya. Memberi celah kepada mataku untuk mengintip dada Mas
Hakim yang tampak liat.

"Sudah." Kemudian dia melangkah ke kamar mandi.

Selagi Mas Hakim di kamar mandi, aku menyiapkan baju gantinya. Wajahku memanas kala menyentuh pakaian dalamnya. Astaga. Apa yang kamu pikirkan, Cha? Kamu istrinya, singkirkan malumu.

Sesaat aku terpana pada kain
ketat dan halus itu, sampai deheman menyentak. Cepat-cepat aku mengambil kaus, celana pendek, dan pakaian dalamnya. Meletakkan di ranjang dalam tumpukan rapi. Seolah berniat menggodaku, Mas Hakim mendekat dengan hanya lilitan handuk di pinggul. Tetasan air dari ujung rambut yang membasahi tubuhnya membuat Mas Hakim terlihat seksi.

Kaki ini serasa dilem dengan kuat hingga tak mampu bergerak. Tenggorokan terasa kering, kepala pusing melihat tubuh proporsional hasil dari olahraga rutin itu. Seakan ditarik oleh magnet berkekuatan besar, mataku terfokus pada tubuh Mas Hakim yang tercipta indah. Hingga ketukan di pintu menyentakku dari keterpanaan pada tubuh Mas Hakim. Segera saja aku membuka pintu dan keluar untuk menyelamatkan jantungku yang tidak keruan.

(Bukan) Pernikahan TerpaksaWhere stories live. Discover now