10

18.6K 1.3K 147
                                    

Yipiii! Ayem kombek. Ada planing apa nih hari ini? Aing mah mo nyuci baju dulu wkwkwk.

Happy ready, Ibu negara 😘

❤️❤️❤️

Keheningan menyelimuti kami. Pandanganku menyapu penampilan Mas Hakim yang tampak berantakan. Lingkaran hitam di bawah mata, bulu-bulu jenggot yang belum dicukur, baju yang jauh dari rapi, dan sedikit kurus, sangat bukan Mas Hakim yang kukenal. Namun, semua itu bukan lagi urusanku.

"Cha, jangan kayak gini. Kita omongin semuanya baik-baik," pinta Hakim memelas. Tatapan yang ia berikan padaku sedikit berbeda tapi itu tak membuat keputusanku berubah. "Serly udah cerita semuanya. Aku bisa jelasin."

Omongan dia hal yang percuma saja sebab aku tak akan mundur lagi. Berpisah lebih baik daripada harus sakit hati. "Mas bisa kembali dengan Kak Amel. Memberi orangtua lengkap untuk anak kalian," Aku mendesah menyadari kebodohanku selama ini. "Harusnya dari awal aku lebih keras menolak perjodohan ini. Harusnya aku sadar, senyum, cinta, dan tawa, Mas, buat Kak Amel bukan buatku. Karena itu, keputusan ini yang paling baik untuk kita."

"Nggak, Cha ...."

"Aku menyerah, Mas. Aku sudah berusaha menjadi seperti yang Mas mau tapi tetap saja aku nggak bisa membuat, Mas, berpaling padaku," ucapku dengan air mata berderai saat mengatakannya. "Lebih baik, Mas, pergi dari sini. Aku ... aku nggak mau lihat, Mas, lagi."

Dekapan hangat menghapus udara dingin yang menusuk kulit. Aku meronta dalam dekapannya, tak ingin
tersentuh olehnya, tetapi Mas Hakim semakin erat memelukku. "Kamu salah paham, Cha. Yang kamu lihat nggak seperti yang kamu pikirkan," terangnya masih dengan
memelukku.

Aku mendorong tubuh besarnya, selain tak ingin berdekatan dengan dia, karena tak bisa bernapas pula. Mungkin dia mengerti, membebaskan aku agar mendapat asupan oksigen.

"Maaf."

Aku menghindar dari jangkauannya, berjalan ke dapur membasuh wajahku yang basah karena air mata. Dia mengikuti dalam jarak dekat tapi aku baikan. Ia berusaha mendekat tapi aku melebarkan jarak antara kan dengan meja makan berukuran sedang.

Jujur saja sangat berat mengambil akhir seperti ini tapi mau bagaimana lagi? Efek yang ditimbulkan akan sangat besar jika terus bertahan. Tidak hanya untukku, Mas Hakim, Mbak Amel, dan anak-anak kami nantinya. Sebelum bola salju membesar lebih baik dihancurkan saat masih kecil.

Dia melangkah ke arahku, aku mundur seraya menggeleng. Mimiknya terlihat begitu frustrasi. "Aku memang salah saat itu menolak menjemputmu, Cha, tapi aku nggak berbohong, kami langsung kembali ke
kantor. Aku nggak tahu hari itu kamu pergi ke rumah sakit. Kamu salah paham, Amel itu ...."

Tidak tahu? Aku tertawa sumbang. Jelas saja. Apa yang dia tahu tentangku selain membuatku merintih di kasur. "Gimana bisa tahu wong kamu nggak pernah sekalipun dengerin omonganku. Semua soal dirimu, bahkan waktuku paling banyak tersita olehmu," ujarku sisni. Pria itu menjambak rambutnya frustrasi. "Kita pisah saja. Pernikahan ini sudah salah dari awal."

Mas Hakim terlihat gusar dan mencoba mendekat. Aku angkat tangan kanan membuat tanda dia berhenti. Bahunya lunglai akan penolakanku bersamaan pandangan memelas. "Kamu boleh marah, pukul,
ludahi, atau maki aku, tapi jangan minta pisah, Cha. Oke! Mungkin sikapku selama ini bikin kamu sakit hati dan menganggapnya mencintai Amel, tapi itu salah, Cha. Dari awal ... dari awal aku sudah cinta kamu, Cha," ungkap Mas Hakim selembut mungkin berharap aku percaya, tetapi tidak, aku tidak akan percaya begitu saja. "Pernikahan ini juga
nggak salah. Semua kemauanku, dengan dalih perjanjian perjodohan antara Bapak sama Ayah. Amel membantukunmasuk ke keluargamu. Dari awal aku cinta kamu."

Aku menggeleng. Mas. "Please, percaya sama aku. Semua sikapku untuk menutupi rasa takutku kehilangan kamu. Akunggak sanggup lihat mata kamu yang penuh benci sama aku. Aku takut kalau kamu tahu
begitu besar yang aku rasakan, kamu akan menuntut berpisah." Bolehkah aku percaya padanya? Aku takut semua itu hanya omong kosong. "Please, percaya sama aku."

Mas Hakim memang tampak kacau, namun....

"Aku bisa telepon Amel sama Andrian sekarang." Pria itu mengeluarkan ponselnya. Mendial nomor yang dia hafal.

"Bisa saja mereka sengkongkol sama kamu."

Mas Hakim menggerang putus asa akan jawabanku. Aku tak akan memberinya mudah mendekatiku.

"Ya Allah, Cha. Aku bisa panggil orangtuamu, orangtuaku, dan orangtua Andrian," jelasnya putus asa.

"Nggak itu nggak perlu. Aku capek dan pilih buat melepaskan." Walaupun cinta yang aku rasakan besar dan air mata ini tak berhenti turun, aku akan bertahan dan tak akan membiarkan perasaan itu membuatku lemah. "Pulanglah. Aku ingin istirahat."

Usai itu aku langsung ke kamar yang biasa aku tempati. Dia mengikuti dari belakang tapi aku abaikan dan menutup pintu dengan keras tepat di wajahnya.

Ketukan masih terus terdengar dan aku tak peduli. Saat ini aku hanya ingin sendiri, menangis sepuasnya, setelah itu aku akan tersenyum menghadapi semuanya yang mungkin saja akan terus mengusik, termasuk keluargaku sendiri.

***

Efek menangis terlalu lama, kepala rasanya mau pecah. Pusing sekali ditambah morning sicknes klop sudah. Memaksakan diri ke kamar mandi meskipun pandangan kurang fokus. Setelah membersihkan diri, kubuka kunci pintu kemudian kembali ke kasur. Bukan tanpa alasan aku membuka kunci tersebut, sebab Serly akan mengantarkan minuman pereda mual.

Setelah muntah, aku kembali berbaring-leyeh-leyeh-untuk memulihkan tenaga. Pening yang kurasakan membuatku memilih menutup mata yang aku tutupi lengan. Tertangkap suara pintu dibuka dan gema langkah mendekat. Aku tak menurunkan lengan di mata, sebab aku tahu itu pasti Serly.

"Makasih, ya, Ser," gumamku lirih. "Kepalaku rasanya mo pecah gara-gara nangis semalam. Nanti kayak e aku nggak bantuin kamu masak, nggak apa-apa, kan? Sakit banget kepalaku," keluhku di tengah sisa-sisa kewarasan sebelum terseret ke alam mimpi.

Saat terbuai mimpi, sayup-sayup aku menangkap suara tapi siapa? Dan usapan lembut terasa di perut. Mungkinkah Serly? Tidak, dia tidak akan melakukan hal seintim itu atau itu Mas Hakim? Itu tidak mungkin karena sudah kuusir semalam.

Aku berusaha membuka mata tapi begitu berat untuk dibuka seolah ada lem yang merekatkan. Aku harus memastikan siapa orang itu. Namun, belaiannya semakin membuatku jatuh dalam jurang mimpi.

❤️❤️❤️

Mamposss lo, Kim. Hohoho. Ocha kagak percaya. Sukurin 😛

(Bukan) Pernikahan TerpaksaWhere stories live. Discover now