23

12K 810 52
                                    

Yuhuuu! Balik lagi hahahha. Baca wes baca ❤️

❤️❤️❤️

"Jalan, yuk."

Aku menoleh ke arah Serly. Ia mendekat lalu duduk di kursi dekat sofa bed. Ia menata salad buah di meja yang dibelinya sebelum ke ruko. Menggiurkan tapi aku tidak berminat. "Nggak, deh. Aku mau langsung pulang aja."

"Mas Hakim jemput?" tanyanya seraya memperhatikan aku memasukkan barang-barang ke tas.

"Nggak tahu aku belum WhatsApp dia. Habis ini kayaknya."

Walaupun kami akan berpisah dia tetap mengantar-jemput aku seperti biasa. Tak pernah absen membawa makanan untukku tapi ... begitulah. Hubungan kami dingin. Dia seolah menarik diri pelan-pelan. Terserah saja itu pilihan dia.

"Apa kalian bakal beneran pisah? Apa nggak terlalu terburu-buru? Apa nggak bisa dibicarakan lagi?" Ada kekhawatiran dalam ucapannya Serly dan aku sangat menghargainya.
Kepadanya aku bisa berkeluh-kesah tanpa ada yang aku tutupi. Termasuk adu mulut kami waktu itu dan keputusan Mas Hakim seminggu lalu.

"Coba kamu tanya orangnya. Kan dia yang minta pisah." Aku kembali duduk setelah mencuci gelas kotor bekas jus mangga pemberian Mas Hakim.

"Ya harusnya kamu jelasin dong kalo dia salah tangkap maksudmu. Bilang kamu cuma emosi. Duh ya!"

Dia terdengar kesal tapi biarlah semua sudah terlanjur. "Percuma dia nggak bakal denger. Lagian gimana mo ngomong wong dia kayak nggak mau deket-deket gitu. Kayak buru-buru pergi nggak mau lihat aku. Udah, sih, serah dia aja. Aku ngikut aja maunya kayak apa."

Yakin terserah Hakim? Bukannya kamu meratapi dia setiap malam? Ejek hati kecilku.

Terdengar keras helaan napas Serly. Mungkin ia memupuk kesabaran untuk beradu argumen denganku. Dia pindah duduk di depanku. Salah satu kakinya bersila di kasur.

"Ada hp, Buk, kenapa nggak kirim pesan? Voice note juga ada. Kalian pulang pergi bareng. Peluang, kan? Kenapa nggak dimanfaatkan?" desak Serly gemas.

"Mau anterin aku pulang nggak? Dia nggak bisa jemput." Aku tak menjawabnya malah bertanya. Serly diam untuk beberapa lama sebelum aku kembali bersuara, "Kalo nggak bisa nggak apa-apa." Dia melihat jam, mungkin dia ada janji. "Kamu ada janji? Ya udah aku minta antar anak-anak atau ojol nanti, gampanglah. Pergi aja."

"Mas Hakim kenapa nggak bisa jemput?"

"Ada janji sama orang resto apa guest house gitulah."

Serly menggangguk kemudian turun dari kasur dan mengambil tasnya. "Ayo aku anter."

"Kamu nggak ada janji?" Aku memastikan agar tidak merepotkan Serly.

"Searah ini."

Selama perjalanan ke rumah Bunda—aku memutuskan tinggal di sana—aku bungkam enggan membahas apa pun soal pria itu. Aku memperhatikan  keadaan jalan yang kami lewati, ramai tapi aku merasa sendiri, dan menyadari ada sesuatu yang hilang dariku.

Aku refleks bergerak mengelus perutku dengan sayang. "Kangen Ayah, ya, Dek?" tanyaku dalam hati. "Sabar, ya, nanti kalo udah waktunya pasti ketemu sama Ayah. Sementara sama Bunda dulu, ya."

"Cha ... Ocha."

Tepukan ringan di lengan menarikku kembali ke alam sadar. Aku menoleh ke arah Serly. "Ya?" jawabku seperti orang linglung.

"Udah sampek."

"Oh." Aku mencangklong tas hitam dan bersiap keluar tapi genggaman Serly menghentikan aku. Kutatap dia dengan pandangan bertanya.

(Bukan) Pernikahan TerpaksaOnde as histórias ganham vida. Descobre agora