25

16.9K 979 102
                                    

Lohaaa. Lamo tak jumpo. Sehat? Semoga dalam keadaan sehat ya. 😘😘

Markicaaa ditemenin lagu Cinta Luar Biasa.

******

"Assalamualaikum."

Aku baru selesai telepon dengan Serly saat ibu Mas Hakim masuk ke kamar.  Beliau tersenyum. Aku segera mencium tangannya waktu ia duduk di sebelahku. "Ibuk udah lama?" Aku bergeser sedikit dan mencari posisi duduk yang nyaman.

"Baru aja. Kamu udah sehat, Nduk?" tanya lembut. Aku mengangguk. "Alhamdulillah. Makannya masih rewel?"

"Masih, Buk. Kadang sampek heran kenapa dia gitu. Maksudnya kasihan Mas Hakim jadi kudu masak tiap hari.  Aneh aja gitu, Buk. Temenku ada yang hamil tapi perasaan ya nggak kayak gini."

Beliau tersenyum. Lesung pipinya terlihat dan menambah kecantikannya. Tatapan beliau menenangkan mungkin karena itu Bapak sayang sekali sama Ibu. "Ya nggak apa-apa biar Hakim ngerasain juga repotnya wanita hamil. Biar nggak cuma tahu enaknya aja. Lagian nggak aneh, kok, Cha. Nggak semua bumil itu sama bawaannya. Ada yang ngebo, rewel dari awal sampek lahiran. Ada yang bulan-bulan pertama aja seterusnya ngebo."

Aku manggut-manggut. Omongan Ibu sama seperti yang aku baca di artikel online. "Oh. Ibuk, tadi ke sini sama siapa? Bapak?"

"Sama Hana." Aku hanya mengangguk kecil. "Kenapa?" tanya beliau.

Aku menggeleng. Jujur saja aku kurang nyaman dengan dia. Bukan karena benci hanya saja ucapan dia waktu itu membuatku sedikit sakit hati. Setiap kata yang dia katakan sampai detik ini masih kuingat.

"Nduk ... apa ...."

"Bu."

Ibu menoleh mendapat panggilan dari putranya. Pria itu menghampiri kami, mencium tangan Ibu kemudian menghampiriku mengecup kepalaku singkat dan ringan. Namun, entah mengapa cukup membuat perasaanku bahagia. Apa ini yang dinamakan jatuh cinta kedua kalinya? Mungkin saja.

"Udah lama, Bu?" Mas Hakim bertanya seraya berganti baju setelahnya ia duduk di sisi Ibu dekat kakiku. Ia angkat kakiku ke pangkuannya dan memijatnya pelan.

Refleks aku tarik tapi dia menahannya. Aku malu terlebih ada Ibu. Bukan berarti ketika tidak ada orang lain aku mau. Aku selalu menolaknya tapi dia bersikeras dan sudah berlangsung selama aku bed rest ini.

Ibu rupanya mengerti aku malu karenanya ia hanya tersenyum. "Ndak apa-apa, Nduk. Tiduran terus juga pasti capek. Nggak usah sungkan, Cha. Kalo mau apa-apa juga nggak usah ragu-ragu bilang Hakim. Selama dia bisa, bilang aja. Kalo nggak bisa ya kudu bisa." Aku mengangguk dengan tak enak hati.

"Aku udah bilang, Bu, tapi dia ngeyelan."

Mataku mendelik padanya tapi dia tak mengindahkan aku. "Nggak, kok, Bu. Mas Hakim bohong itu. Aku mesti bilang dia kalo mau apa-apa," bantahku.

"Bilang apa? Kemarin yang kena marah Bunda gara-gara angkat ember isi cucian, siapa?" sahutnya mematahkan argumentasiku.

Ibu melihatku dengan pandangan menuntut. "Lho, kok, ndak minta bantuan yang lain?"

Beliau hanya bertanya seperti itu tapi aku ketakutan layaknya ayam berhadapan dengan macan, jelas-jelas diterkam. "Nggak berat, Buk, sebenarnya."

"Iya nggak berat, Bu, cuma abot (berat)," timpal Mas Hakim.

Aku meringis sebab itu benar. Tidak berat sebenarnya jika kondisiku baik-baik saja. Namun, anjuran bed rest membuat semuanya membatasi aktivitasku.

Ibu tersenyum di tengah perdebatan kami sampai Hana menginterupsi obrolan kami dan mengajak pulang. Tampak kegembiraan di paras ayunya saat meninggalkan kamarku. Mungkin beliau khawatir dengan kelanjutan rumah tangga kami tetapi setelah melihat interaksi kami, rasa khawatir itu mungkin menghilang.

****

"Segernya!" seruku saat dinginnya es dawet ayu melewati tenggorokan. Sudah beberapa hari aku ingin tapi baru hari ini keturunan sekalian periksa ke dokter kandungan. "Boleh lagi, Bun?" tanyaku.

Bunda menggeleng. "Makan nasi dulu. Kasihan kalo cuma dikasih santan tok, bayeknya nggak bakal kenyang."

Dengan bibir merengut aku menaruh gelas kosong dan mengambil piring yang sudah Bunda isi dengan makanan. "Seger, lho, padahal, Bun."

"Iya seger tapi ya jangan over lah. Udah gede gitu harus dibatasi makannya takut bayinya kegedean," larang Bunda. "Tadi gimana pas kontrol?" tanya beliau sembari memotong kecil-kecil melon yang aku beli.

Kepalaku mengangguk singkat saat mulutku penuh nasi. "Udah baik tapi tetep nggak boleh banyak aktivitas berat, Bun. Ringan-ringan aja katanya," sahutku setelah nasi di mulut masuk sempurna di perutku. "Bobot dedek juga cukup. Tadi ditanya mau tahu jenis kelaminnya apa nggak, Mas Hakim nggak mau. Biar jadi kejutan, padahal aku pengin tahu, Bun, secara dia manja banget saya ayahnya."

Bunda mengulum senyuman mendengar keluhanku. "Tapi kata dokternya dia sehat dan nggak ada masalah, kan?" Aku menggeleng. "Ya wes itu lebih dari cukup. Oh ya, kalian gimana?" Bunda melihatku penuh pengharapan.

"Nggak gimana-gimana, Bun. Ya gini-gini aja."

Binar harapan di mata beliau sontak meredup. Senyum kecilnya tak mampu menutupi mendung yang bergelayut di parasnya. Aku bergeser mendekati beliau lalu memeluknya. Menempelkan kepalaku di pundaknya. Tanpa kata suasana jadi tenang. Hingga untuk beberapa saat tak satu pun dari kami memecah keheningan.

"Kami baik, Bun. Nggak ada perpisahan atau semacamnya. Mas Hakim itu cuma salah paham." Terdengar tarikan napas panjangnya. Mungkin itu reaksi kelegaan sebab rumah tanggaku selamat. "Dia salah tangkap maksudku, Bun, jadinya kacau gitu. Lagian bocil ini ngulah terus biar bisa deketan sama ayahnya."

"Alhamdulillah," ucap Bunda penuh kelegaan seraya mencium keningku.

"Awalnya mikir ... aku bisa, kok, tanpa dia tapi ... dasarnya butuh ya udah ambil lagi." Aku mengurai rangkulan lalu mengambil air kelapa muda dan meneguknya sampai habis. "Udah mapan tujuh tanjakan, good looking, bibit unggul, terus dilepas? Rugi bandar dong."

Bunda tertawa kecil mendengar jawabanku. "Kamu ini." Beliau kembali memperhatikan aku makan buah matoa yang kubeli dari teman sekolah. "Beneran karena nggak mau pisah? Bukan karena yang lain?" sambungnya.

"Beneran." Aku pun bersandar seraya menghela napas. Pandanganku lurus menatap langit-langit rumah. "Ya awalnya berat, Bun, tapi kalo nggak dicoba ya nggak bakal tahu akhirnya gimana. Ya ... biar juga banyak berantemnya, sih, hehehe." Aku kembali menegakkan badan melanjutkan makan buah khas Papua tersebut.

Bunda mengangguk. Beliau merangkulku erat. "Bunda seneng lihatnya."

Ya, tidak hanya Bunda saja yang bahagia, aku pun bahagia. Terlebih melihat senyuman di wajah beliau. Setelah mengurai pelukan Bunda ke kamarnya dan aku masih nyaman duduk di sofa depan televisi. Hingga acara yang kutonton habis pria itu belum juga pulang, padahal biasanya sudah di rumah. Sedikit kesusahan aku mengambil handphone di meja.

"Assalamualaikum."

"Mas, di mana?"

"Lagi beli bakso bakar. Tadi katanya pengin bakso bakar. Kenapa?"

"Kirain. Tumben belum pulang biasanya udah di rumah."

"Iya. Udah selesai, kok. Mau apa lagi?"

"Apa, ya? Ntar aja kalo pengin baru cari."

"Ya udah. Mas tutup ya ini mau jalan. Assalamualaikum."

Tbc.

Cieeee yg baikan. Dahlah jomlo melipir aje ke pojokan. 🙄🙄





(Bukan) Pernikahan TerpaksaWhere stories live. Discover now