16

15.4K 1.1K 169
                                    

Aih, lama nggak ngelapak dimari wkwkwk. Masih pada nungguin? Makasih lho, ya. Puasa lancar kan? Semoga.

Sekarang Markica—mari kita bacaaa. 😁😁

♥️♥️♥️

"Katanya mau jawab pertanyaanku kemarin. Mana? Pasti Mas alasan aja. Ngeles, kan?" tuduhku dengan suara keras dan tak peduli kalau didengar Serly ataupun yang lainnya. Aku benar-benar jengkel pada laki-laki itu. Dada ini rasanya mau meledak karena amarahku.

Dengan tersenyum Hakim mendekat—yang berdiri di meja—tapi aku pindah duduk di sofa. Meliriknya sengit tapi dia malah tersenyum kecil. Apa dia kira aku sedang melucu? Tiga hari pasca kami berbaikan, dia selalu menghindar jika ditagih jawaban waktu itu, tapi hari ini aku tak akan memberi dia celah untuk menghindar.

Aku mendorongnya menjauh saat berusaha menggapaiku dalam pelukannya. Sungguh melihat wajahnya saat ini membuatku ingin melemparnya dengan sandal. Kesal sekali, terutama pada diriku sendiri yang terlalu mudah luluh padanya. "Nggak usah deket-deket. Aku paling benci sama tukang bohong. Minggir!"

Bukannya minggir, dia malah maju menenggelamkan aku dalam dekapannya. Pelukan Mas Hakim yang kuat mematahkan rontaan dariku. "Lepasin!"

"Mas lepasin tapi janji diem, ya."

Apa-apaan ini? Kenapa aku harus menurut padanya, padahal dia yang salah? "Pokoknya lepasin! Aku males banget sama Mas. Lepas!"

"Iya Mas lepasin tapi jangan ke mana-mana, ada yang mau ketemu kamu." Ucapan dia menghentikan gerakanku. Menatapnya dengan tatapan penuh tanya. "Udah lama mau temuin kamu tapi waktu itu kita lagi musuhan, kamu nggak mau ditemui siapa pun termasuk Ayah sama bundamu."

Keningku berkerut berusaha menebak siapa yang dimaksud oleh Mas Hakim. Aku menegakkan tubuh mendorong pelan pelukan dia hingga merenggang. "Siapa?" tanyaku.

"Amel."

Ah, aku kangen sekali sama Mbak Amel. Sikap permusuhanku padanya bukan hal yang tepat, sebab itu hasil pemikiranku sendiri tapi siapa yang tidak akan salah paham jika melihat mereka berdua akrab begitu.

"Tapi Mas belum jawab pertanyaanku kenapa ketus banget sama aku," rajukku. "Sakit tahu digituin. Kalo pun nggak ada rasa atau kepaksa kan kita bisa ngobrol kayak teman nggak kayak musuh gitu."

Duh, hormon! Kenapa keluar di saat tidak tepat. Aku paling tak suka bila tiba-tiba melow begini. Air mata turun tanpa permisi, seenaknya saja begitu. Aku tak suka dia melihatku menangis sebab tampak lemah di depan dia.

Kesal dengan diri sendiri, aku mendorong dadanya, menciptakan jarak antara kami. Aku memutar tubuhnya membelakangi dia. "Udah Mas pergi aja. Aku lagi nggak mau ngomong dan ketemu siapa-siapa. Pergi aja. Aku mau tidur."

Aku bangkit lalu membaringkan tubuh di sofa bed. Meraih selimut menutupi hampir seluruh badanku. Memejamkan mata untuk membuatnya pergi. Kepalaku sebenarnya agak pening mulai tadi pagi, tenggorokan juga tidak nyaman saat menelan makan, dan badan juga sedikit hangat. Mungkin aku akan flu, biasanya seperti itu jika pergantian musim berlangsung.

"Cha, dengerin dulu ...."

"Pergi sana. Nggak usah banyak ngomong bikin kepalaku tambah sakit. Aku nggak peduli Mas mau ngapain, pokok pergi aja sekarang. Udah males aku."

Suasana hatiku kembali memburuk. Hamil mengubah semua sifat dan sikapku, membuat hari-hari yang kujalani seperti drama ikan terbang. Sebenarnya aku bukanlah orang yang mudah marah, tapi semenjak hamil, cepat sekali tersulut emosi. Melihat sesuatu yang tidak pas di hati, membuatku marah atau menangis. Ya ampun! Parah sekali mood swing-ku.

Aku menyingkirkan tangan dia di dahi. Benar-benar tak mau disentuhnya. "Apaan, sih! Sana, deh."

"Badan kamu anget. Kenapa nggak bilang? Mana lagi yang sakit?" tanya tetap bergeming di depanku berbaring.

Ada kekhawatiran dalam pertanyaannya dan memicu senyumku meski kecil. Namun, tak lama, sebab kemarahan kembali berkuasa dalam diriku. "Udah pergi aja. Males banget sama kamu. Males lihat kamu yang suka bohong itu."

"Pantes tadi kamu makannya dikit banget, nggak enak ya rasanya?"

Udah tahu masih aja tanya Bambang.

Dia seolah-olah bicara sendiri karena aku tak menanggapinya, lalu terdengar dia bicara dengan seseorang di telepon. Aku tak peduli, lebih baik aku tidur. Kepala berdenyut itu sungguh menyiksa apalagi saat kondisi berbadan dua begini yang tak bisa sembarangan minum obat. Selain itu badan terasa sangat tidak nyaman bila suhunya naik, membuat suasana hati bertambah buruk.

****

Aku meraba dahi yang terasa aneh, seperti ada sesuatu yang basah. Sewaktu kubawa ke depan mata, ternyata handuk kecil lembut. Oh, ini si pengganggu tidurku kemudian aku meletakkan sembarang kain itu dan kembali memejamkan mata.

"Masih pusing?"

Meski terpejam aku berusaha mengenali suara itu. Ah, Mbak Amel. Sedetik kemudian aku merasakan usapan lembut di kepala. Ya ampun nyaman sekali rasanya. Menyingkirkan dentuman yang mendera, kupaksa mata ini terbuka, menatap orang yang menjadi pemicu pikiran negatifku.

"Haus? Bentar Mbak ambil minum." Tak lama perempuan ayu itu kembali ke sisiku dengan segelas air putih dan sedotan. "Udah?" Aku mengangguk lalu berusaha bangun dan bersandar dengan nyaman.

"Kapan datang, Mbak?" Semarah apa pun aku padanya, aku masih menghormati dia. Bagaimanapun dia orang yang kusayang selain Ayah dan Bunda.

"Barusan. Hakim turun sebentar cari obat kayak e."

Sejenak kami sama-sama terdiam. Canggung pun tercipta. Aku tidak tahu harus berbicara apa dengan Mbak Amel, sebab saat ini suasananya berbeda, padahal sebelum terjadi masalah ini, kami sangat dekat dan bercerita apa pun, kecuali hati. Itu adalah hal yang sangat pribadi dan kami saling menghormati jika tak ingin menceritakan.

"Maafin Mbak ya, Cha, gara-gara Mbak kalian jadi berantem kayak gini. Sebenarnya Mbak nggak ada niat sama sekali buat kalian salah paham, ya tapi namanya perasaan tetep nggak bisa dilawan, kan?" Entah kenapa hatiku rasanya tak enak. Kami saling tatap sebelum dia berkata, "Mbak ... Mbak suka Hakim."

Tbc.





(Bukan) Pernikahan TerpaksaWhere stories live. Discover now