11

17.5K 1.3K 158
                                    

Apa kabar emak-emak syantiek? Masih nungguin Hakim? Yuk mari kita baca 😁

💔💔💔

Mual muntah yang kurasakan tidak berkurang padahal sudah memasuki tri semester kedua, nafsu makanku juga berkurang. Jika sebelum hamil apa saja bisa kumakan, sekarang tidak begitu. Kadang sampai kesal dan menangis sendiri, ingin makan tapi perut menolak—hanya satu sampai empat sendok yang masuk. Aku harus bagaimana?

"Dek, mbok ya makannya yang lahap gitu, biar kamu ada gizinya. Jangan ditolakin makanannya."

Bahkan aku seperti orang gila ngomong sendiri dengan janin di dalam perut. Namun, meskipun sudah seperti orang sinting, bayi ini tidak mengindahkan permintaanku. Astaga. Aku lapar tapi ... aku putuskan ke dapur membuat sesuatu untuk mengisi perut yang sudah berbunyi keras.

Langkahku terhenti melihat sesosok tubuh meringkuk tak nyaman di karpet depan televisi yang menyala. Dia sudah memakai selimut tapi dinginnya udara masih bisa menembus kain itu. Resiko akan keras kepalanya, jadi ya sudah.

Oh ya, dia memutuskan tinggal di rumah Serly—kurang lebih sepuluh hari ini— meskipun aku sudah mengusirnya. Serly juga membujuknya untuk pulang tapi dia bertahan di sini. Bahkan dia tidak malu bersimpuh memohon pada Serly agar diizinkan tinggal di sini.

Karena tak tega, akhirnya Serly mengizinkan. Usai mendapat izin, Mas Hakim melapor ke ketua RT setempat dengan membawa surat nikah, kartu keluarga, dan KTP.

Aku melangkah ke dapur, membuka kulkas mencari sesuatu yang bisa aku olah. Aku mengambilnya sosis, keju, tomat, dan telur. Membuat toast ala kadarnya sepertinya enak dan semoga perutku tak menolak.

Saat menutup pintu lemari es dan berbalik, aku terjengkit. Jantung serasa copot melihat tubuh tinggi Mas Hakim menjulang di depanku. Refleks aku pukul sekuatnya setelah sebelumnya meletakkan bahan-bahan tadi di meja.

"Kagetin aja! Mau aku mati?" bentakku. Sesudahnya aku mendorongnya minggir. Melanjutkan membuat toast ala Ocha. Tidak lama harum roti panggang campur telur dadar memenuhi dapur. Air ludahku sudah berkumpul, siap jatuh bila tak aku tahan. Pasti lezat rasanya seperti kelihatannya.

Aku mengabaikan dia yang terus menatap dari samping lemari es. Membawa telur plus roti ke meja dan siap aku santap. Satu gigitan, dua gigitan, tiga gigitan air mataku turun. Rasanya tak sesuai ekspektasi, bukan salah roti itu tapi bisa jadi indra pengecapku yang bermasalah dan perutku juga tak mau bekerjasama.

Suara isakanku menggema, aku lapar tapi ... dia mendekat, meletakkan air putih untuk melegakan tenggorokan. Air minum tinggal seperempat saat gelas tinggi itu aku letakkan. Namun, lega itu sesaat sebab yang aku butuhkan makanan bukan air putih.

Tak ingin terlihat payah di depannya, aku beranjak dari kursi masuk ke kamar dengan perasaan sedih. Mencoba memejamkan mata agar lupa soal lapar hingga benar-benar terlelap.

***

Seolah ada alarm dalam tubuh, setelah azan subuh aku selalu terbangun untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Jika di tri semester pertama aku kembali tidur usai muntah, di usia kandungan empat bulan ini, aku menyempatkan jalan-jalan di sekitar rumah Serly sambil menikmati indahnya lukisan Tuhan berwarna jingga lalu pelan-pelan berganti kuning. Cahayanya menghapus kegelapan malam dengan keceriaan. 

Sesudah merapikan diri, aku keluar untuk mengambil air minum. Serly berdiri di sisi meja makan dengan hidangan sederhana di atasnya. Omelet telur dan sosis, roti panggang, juga susu cokelat hangat. Nafsu makanku seolah terseret ke permukaan. "Wah, enak nih, Ser." Aku menarik kursi ke belakang sebelum kududuki. Mungkin efek lapar tadi malam, tanpa ba-bi-bu aku mengambil satu tangkup lalu menyuapnya dalam potongan kecil.

'Makan ya, Dek, Bunda lapar ini.'

Hingga omelet itu tinggal separuh, perutku tidak menolak. Bersyukur sekali. Rasanya seperti diguyur hujan di tengah-tengah gurun pasir, begitu melegakan. "Kamu nggak makan, Ser?" tanyaku heran kenapa dia hanya menatap saja. "Enak. Dia nggak nolak," lanjutku dengan semringah.

"Eh ... iya ini aku makan." Perempuan dengan rambut panjang itu duduk, meraih roti panggang selai. "Enak banget, ya? Cepet banget makannya."

Aku mengangguk. Iya ini terasa lezat di lidah padahal hanya telur campur sosis tapi seperti makanan mewah. "Kamu tahu sendiri gimana makanku biasanya. Norak banget, ya, cuma telur doang udah kayak makan apa aja."

Dia terkikik mendengarnya. "Iya norak, tapi nggak apa kalo itu nggak dimuntahi sama baby-nya. Aku ikut seneng. Kamu susah makan. Hamil bukannya bobot naik ini malah turun.   Oh ya, kapan kontrol?" tanya Serly yang kini meniup-niup teh panas.

Sebelum menjawab, refleks kepalaku melihat ke sekeliling ruangan mencari keberadaan. Mas Hakim. Jangan sampai dia mendengar pembicaraan ini.

"Udah pulang, kamu tenang aja."

Satu lagi informasi, jika setiap pagi pria itu akan pulang dan kemari lagi sebelum berangkat kerja. Sudah seperti sekolah saja, wajib presensi. Sampai sekarang pun aku memilih menghindari dia. Selama dia di sini, aku akan mengurung diri di kamar, keluar jika ada perlunya saja.

Entah hanya sandiwara atau memang dia takut kehilanganku, sesering apa pun aku membentak, menyuruhnya pergi, dan menyinggung soal perceraian, ia tetap bertahan. Bagiku itu tidak mengubah apa pun, sebab kepercayaan yang aku punya sudah luntur dan hilang.

"Besok sore sama Dokter Retno."

"Kalian apa bakal kayak gini terus? Kandunganmu bakal tambah besar. Kamu butuh dia kalo ada apa-apa. Aku nggak selalu standby di sampingmu. Beberapa hari yang lalu, Bundamu ke toko, beliau merasa bersalah udah bikin kamu kayak gini. Ayah, Mbak Amel, dan mertuamu juga. Dari cerita Bunda, Hakim sempat dipukuli bapaknya sampai hampir pingsan. Sampai detik ini didiamkan orangruanya. Semua sayang kamu, Cha."

Suapan terakhir menggantung di udara. Ucapan Serly cukup menurunkan minat makanku. Bukan salah dia hanya saja berpikir kembali ke rumah atau berdekatan dengan mereka rasanya berat. Aku belum siap bertemu.

"Ya, aku emang nggak di posisimu, nggak tahu semua yang kamu rasakan hanya saja ... pikirkan semuanya. Dua minggu emang nggak bisa menebus sakitmu, tapi setiap orang berhak kesempatan kedua, begitu juga suamimu. Aku nggak maksud belain dia, aku cuma kasihan bayimu, Cha. Dia juga butuh ayahnya dan kamu butuh keluargamu."

Aku tatap Serly dalam sebelum menekuri susu cokelat hangat di genggaman tangan. Pulang, keluarga, kesempatan kedua? Tiga kata itu bagai momok dalam mimpi. "Kamu udah bosen lihat aku di sini, ya?" Hanya itu yang tercetus di kepala. Mataku tiba-tiba saja mengeluarkan senjatanya. Bisa jadi Serly mulai keberatan aku di sini.

"Astaghfirullah bumil! Mana ada aku bilang bosen! Ya Allah ya Rabbi. Ngomong sama orang sensi gini amat, yak." Serly menarik tangsnku untuk dia genggaman. "Dengerin. Masalah ini bakal berlarut-larut kalo nggak kamu urai. Dampaknya nggak cuma ke kamu aja tapi semuanya. Emang itu bukan tanggung jawabmu, kamu pun berhak bahagia dengan atau tanpa Mas Hakim, hanya saja ... pernikahan ini kalo masih bisa diselamatkan, kenapa nggak? Semua keputusan selalu beriringan dengan resiko. Aku nggak mau kamu nyesel nantinya gara-gara ambil keputusan terburu-buru."

Masih dengan sesegukan aku menyeruput susu cokelat yang mulai dingin. Derit kursi terdorong tak mengalihkan perhatian dari cairan cokelat tersebut. Mencerna semua omongan Serly, bertanya pada hati apakah bersedia memberi kesempatan kedua kepada semua.

Setelah Mas Hakim menemukanku di sini, Ayah, Bunda, Bapak, Ibu, juga Mbak Amel mencoba menemuiku tapi selalu kutolak. Aku tahu membuat sedih mereka, itu dosa. Namun, aku tidak ingin membohongi hati ini jika aku masih belum mau bertemu. Hati ini masih sakit jika mengingatnya.

Apa yang harus aku lakukan?

💔💔💔

Shopping yuk 🤣🤣 traktir eke gitu. Daripada mikirin si kadal itu, kan mending happy-happy sama eke 😆

(Bukan) Pernikahan TerpaksaWhere stories live. Discover now