26

22.9K 924 79
                                    

Hai bunddd. Lama kagak jumpa yes 🤣. Kabar baik kan? Yuk lah langsung baca aja biar kagak riweh wkwkwk. ❤️❤️

♥️♥️♥️

Bibirku terus tersenyum saat memperhatikan Mbak Amel tertawa lebar menyambut godaan teman-temannya akan malam pertamanya. Mbak Amel benar-benar terlihat bahagia dengan pernikahannya dan membuatku yakin bahwa di antara Mas Halim dan Mbak Amel sekarang sudah tidak ada apa-apa. Ralat! Memang tidak pernah ada apa-apa, itu hanya cinta sepihak Mbak Amel.

"Sekarang percaya kan kalo Mas sama Amel nggak ada apa-apa."

Aku mengangguk seraya mendongak menatap dia. "Mereka kelihatan bahagia banget ya, Mas. Senyumnya Mbak Amel lepas banget gitu." Aku memutus pandangan kami kemudian kembali melihat pasangan pengantin di panggung. Ah, dasar bumil labil aku ini. Betapa irinya aku melihat mereka "Nggak kayak pas kita nikah kemarin. Mukamu flat kayak KPR BTN. Jadi males aku lihat foto pernikahan kita," gerutuku. "Nanti pas pulang lepas aja itu fotonya, bikin kesel aja kalo inget."

Ya memang kenyataannya begitu. Potret itu tak ada bagus-bagusnya karena dia tak benar-benar tersenyum saat itu, hanya aku yang berusaha menutupi kesuraman pernikahan tersebut.

Mas Hakim mengubah posisi berdirinya jadi menghadapku. Kedua tangannya di pundakku dan dia menunduk menatapku. "Mas senyum lho, Cha, itu. Soalnya Mas seneng bener kita nikah. Masa mau dilepas. Bagus kok."

Ya bagus buatnya tapi tidak denganku. Aku menyipitkan mata lalu menepis tangannya di bahuku. Aku pergi dari hadapannya karena kesal. Kuabaikan saja panggilannya dan terus keluar gedung pernikahan ini.

Angin sejuk menerpa dan sungguh segar dan sumuk (gerah atau panas soal udara) yang kurasakan hilang. Aku terus berjalan untuk mengenyahkan kejengkelanku. Sampai di bagian belakang gedung yang terdapat tempat duduk untuk mahasiswa. Oh ya, gedung pernikahan yang Mbak Amel berada di area kampus, jadi sekitarnya ramai dan rindang.

"Ya Allah segernya. Sumuk tenan ndek njero (panas banget di dalam)." Aku mengipasi wajahku dengan tangan lalu melepas sepatu yang kupakai. "Ya ampun leganya."

Benar-benar lega yang luar biasa. Kakiku terasa ringan seperti lepas dari borgol berat, padahal baru satu jam memakainya tapi sudah pegal saja. Mungkin karena efek hamil besar jadi beban kakiku bertambah, padahal sebelum menikah dan hamil aku suka sekali mengenakan high heels ke acara-acara resmi.

Enak banget. Aku mengurut kaki sekenanya karena benar-benar pegal. Tapi hal itu tidak berlangsung lama sebab aku haus. Ya Allah seperti ini rasanya orang hamil, apa-apa serba terbatas dan menguras tenaga. Apa hanya aku saja yang begini? Mungkin aku terlalu manja?

"Kok haus ya. Nggak bawa minum lagi."

Aku terkejut saat air minum Cleo mini terpampang di depanku. Aku mendongak, melihat siapa yang mengulurkan air mineral botolan itu kepadaku. Hana.

Ya apa boleh buat kuambil saja walaupun aku kurang suka padanya. Aku membuka tutupnya dan menandaskan hingga habis. "Makasih," ucapku tanpa melihatnya yang kini sudah duduk di sebelahku.

Dia tak membalas dan aku masa bodoh, terpenting aku sudah melakukan yang seharusnya. Karena tidak ada yang perlu dibicarakan, aku memakai kembali sepatu. Tapi baru sebelah, dia menahan lenganku. Aku melihatnya dengan pandangan heran.
Hana melepaskan cekalannya sampai aku kembali tenang.

"Maafin aku, Mbak."

Keningku berkerut. Memastikan telingaku tidak salah dengar. Maaf katanya? Apa dia salah makan sampai-sampai aneh begini?

"Maaf buat sikapku yang bikin Mbak marah." Hana menatapku. Ia tersenyum kecut melihatku diam saja.  Dia menunduk memainkan botol minuman yang dia pegang. "Selama ini pikir Mas Hakim sama Mbak Amel menjalin hubungan, karena yang aku lihat mereka dekat, sering bersama ya aku pikir mereka ... aku marah waktu Mas Hakim mau nikah sama Mbak. Aku pikir Mbak pasti berbuat aneh-aneh sampai Mas Hakim mau nikahi Mbak dan bukannya Mbak Amel."

"Tapi lagi-lagi aku salah, bukan Mbak tapi Mas Hakim yang memaksa menikahi Mbak. Awalnya aku masih nggak percaya sama omongan Mas Hakim kalo dia yang maksa tapi pas Mbak ngilang itu, dia kayak orang gila. Linglung dan banyak bengong kayak nggak punya nyawa."

Hana meraih tanganku setelah sebelumnya melempar botol kosong minumannya ke tong sampah. Ia memiringkan tubuhnya hingga lututnya menyentuh pahaku. "Maafin aku, Mbak. Termasuk kata-kataku yang nggak sengaja Mbak dengar waktu ke rumah."

Apalagi yang bisa aku perbuat selain memaafkan dia. Aku tahu dia tulus dan harus menyiapkan keberanian untuk mengatakannya. Lagipula aku tak ingin ada ganjalan dalam hubunganku dengan keluarga Mas Hakim ke depannya, jadi sudah sepantasnya semua ini diakhiri.

Aku mengangguk dan tersenyum. "Iya."

Hana memelukku seraya menangis. Aku tak tahu apa yang membuatnya menangis hanya rasanya tangisan Hana terdengar tangisan yang melegakan. Ya mungkin saja ia lega karena beban yang ditanggungnya kini terangkat.

Usai menetralkan suasana di antara kami, dia pamit kembali ke dalam. Dia mengajakku tapi aku menolaknya. Aku masih ingin di sini menikmati suasana tenang dengan semilir angin yang menenangkan.

Aku menghela napas panjang dan dalam. Rasanya plong seperti jerawat yang pecah, benar-benar lega. Ternyata efek dari pengakuan Hana tidak hanya berimbas pada dia saja tapi juga padaku. Aku jadi ikutan bebas berkumpul dengan keluarga Mas Hakim tanpa ada rasa was-was.

"Apa kamu senang?"

Ucapan Mas Hakim membuatku membuka mata. Ia memelukku dari belakang. Meskipun berat aku tak keberatan karena aku suasana hatiku sedang bagus. "Mas lihat ya?" Dia tidak akan bertanya jika tak memperhatikan kami.

"He'eh. Dia perlu dorongan biar berani ngomong sama kamu." mas Hakim mencium rambutku sekilas sebelum mengurai belitan tangannya dan duduk di sampingku.

"Bukan inisiatif Hana dong."

"Inisiatifnya tapi dia butuh dorongan untuk mendekatimu."

Ya, memang sangat sulit untuk memulai pembicaraan dengan orang yang tidak kita suka. Jadi ya ...

"Mau ke dalam? Sepertinya Ibu nyariin kamu. Beliau sudah ngomel-ngomel lihat Mas sendirian."

Aku mengangguk. Dia berdiri kemudian berjongkok untuk memakaikan selop berbahan lembut yang sepertinya dia bawa. "Untung dekat sama mal, jadi nggak jauh-jauh nyari sandalnya." Dia menenteng sepatu yang tidak terpakai.

"Jadi ini baru?" tanyaku tak percaya.

Dia mengangguk. Astaga. Aku saja tidak kepikiran sampai ke sana dia ... ah, tidak heran kenapa anaknya sangat manja pada Mas Hakim. Dia benar-benar perhatian. Dia membantuku berdiri. Kami berjalan seraya menggenggam tanganku. "Mas."

Dia berhenti. "Hmm?"

"Coba nunduk dikit. Ada kotoran di muka kamu." Dia menunduk menuruti perintahku. Aku mendekat dan mencium bibirnya sejenak sebelum melepasnya. "Love you."

Tamat!!!

Ya Allah akhirnya aku berhasil kelarin juga huaaaa.

Makasih banyak buat yang udah sempatin baca cerita yg absurd ini 🤣 babayyyy😘

(Bukan) Pernikahan TerpaksaWhere stories live. Discover now