13

16.6K 1.2K 109
                                    

Halooo! Dunia tipu-tipu wkwkwk.
Kabar baik, kan? Alhamdulillah. Dahlah langsung baca aja. 😘

💔💔💔

"Makan dulu."

Sepiring nasi putih, cah sawi campur tahu putih dipotong dadu kecil-kecil, dan ayam goreng tersaji di meja kecil tempatku memeriksa laporan keuangan dan siap dinikmati. Aroma bumbu dari cah sawi juga ayam goreng memicu air liurku berkumpul seolah tak sabar ingin mencicipi masakan Mas Hakim. Ingin menolak tapi perut tak bisa diajak kompromi, bahkan sepertinya bayi ini lebih memihak pada sang ayah. Sungguh menjengkelkan.

Sejak Bunda meminta dia memasak untukku, setiap pagi ia datang dengan sarapan. Saat siang bila ia tak bisa mengantar maka salah satu karyawannya diminta datang. Oh ya, Mas Hakim memutuskan keluar dari pekerjaannya dan fokus mengurusku, toko mebel juga agen travel milik keluarganya.

Usai memeriksa aku mulai melahap makanan dari Mas Hakim, meski kami dalam satu ruang tapi aku jarang berbicara dengannya bila tak ada hal yang sangat diperlukan. Entahlah rasanya sangat malas mendengar suaranya.

Mas Hakim duduk di ujung sofa dekat tangga. Sepertinya dia tahu aku enggan berdekatan dengannya. "Cha ...."

"Mas nggak ke toko?" potongku cepat. Aku tak mau mendengar apa pun darinya. "Buruan pergi, jangan bikin dia nunggu."

"Mas nggak ada hubungan apa-apa sama ...."

"Mending Mas pergi sekarang. Nggak usah bikin emosiku naik." Aku menatapnya dengan kebencian. "Aku biarin Mas di sini bukan berarti aku sudah maafin Mas, jadi jangan langgar batasannya," ujarku seraya memamdang dia tajam.

Dia tampak kaget tapi tak mengatakan apa pun. Ia berdiri, berjalan ke meja besar di dekat kamar mandi mengambil susu untukku.

"Jangan lupa diminum. Nanti siang Mas usahakan ke sini."

Mas Hakim mengambil ponsel dan kunci mobil di meja besar. Aku tahu dia melihatku tapi aku mengabaikannya. Tampak ia menghela napas kemudian mulai melangkah. "Mas nggak usah ke sini, suruh Pak Maman aja. Aku lagi males lihat Mas."

"Iya."

Sepeninggalan dia, air mataku turun. Aku mencintai Mas Hakim tapi juga sakit hati dengan perbuatannya. Katakanlah cemburu melihat Mbak Amel lebih diterima oleh keluarganya daripada aku. Mertuaku baik tapi tidak dengan Hana dan itu membuatku tak nyaman. "Ibu harus gimana, Dek? Satu sisi Ibu mau Ayah di sini tapi di sisi lain gimana sama Budhe Amel? Ibu mau kamu ngerasain kasih sayang lengkap tapi ...."

Entahlah, kenapa perasaan dan suasana hatiku buruk sekali sampai-sampai bingung sendiri. Kadang ingin dekat terus tapi jika ingat apa yang dia lakukan, kemarahan yang mendominasi. Kenapa harus seperti ini?

****

Aku terbangun saat panggilan menunaikan salat terdengar. Aku mengerang lirih karena pusing yang mendera. Hal inilah yang aku benci setelah menangis, selalu seperti itu. Dulu saat harus pisah dengan Aldo dan menangis semalaman, esok harinya kepala seperti meledak. Nyeri yang menyerang sungguh membuatku ingin membenturkan kepala ke tembok. Saat ini pun demikian.

Dengan kepala nyut-nyutan aku turun dari kasur untuk membersihkan diri. Letak kamar mandi yang tidak jauh sangat membantu dalam keadaan tak sehat seperti ini. Aku Mery sedikit segar usai dari kamar mandi kemudian melaksanakan kewajibanku sebagai umat muslim, setelahnya turun ke bawah untuk membantu Serly dan lainnya menyiapkan barang-barang.

Aku duduk di kursi kasir. "Diah, Mbak Serly ke mana? Kok nggak ada, di sebelah?" tanyaku saat sosok Serly tak tampak.

"Mbak Serly baru aja keluar, Mbak, mau beli apa gitu tadi," sahut Diah yang tengah membungkus mainan edukasi untuk balita tiga tahun. "Mbak, itu kiriman dari Pak Hakim.," tunjuk Diah ke arah rantang plastik kesukaan ibu-ibu. "Kayaknya buru-buru jadi nggak naik tapi Pak Hakim bilang nanti malam ke sini."

(Bukan) Pernikahan TerpaksaDär berättelser lever. Upptäck nu