6

16.1K 1.3K 93
                                    


Hallooo! Lama nggak up di sini wkwkw. Selain emang sibuk di duta, kbtulan lagi rempong ngurusi naskah orang.

Dahlah baca aja part ini aja. Moga kalian suka 😘

💔💔💔

Ini hari ketiga dia mendiamkanku. Janji untuk membahasnya di rumah menguap begitu saja. Setiap kali aku mulai pembicaraan, Mas Hakim memilih pergi dan semakin membuatku bersalah. Mungkin itu cara untuk menghukumku. Ya, aku tahu salah tapi semua itu kulakukan dengan alasan yang cukup kuat. Lagi pula aku sudah tak mengkonsumsi pil itu setelah ngobrol panjang lebar dengan Serly. Dia meyakinkanku bahwa aku bisa meraih cinta Mas Hakim, sebab menurutnya dengan adanya buah hati ikatan kami akan kuat, setidaknya ia akan berpikir jika ingin berpisah. Ya, aku sependapat dengan ucapan Serly.

"Mas, makan dulu," pintaku menghampiri dia di ranjang dengan laptop di pangkuannya. Beberapa kertas berserakan. Entah apa itu, tapi yang pasti laporan dari usaha sampingannya.

Ia menatapku sejenak sebelum kembali menghadap layar 14 inchi dan mengabaikanku. Aku memutar tubuh guna keluar kamar tapi ucapan Mas Hakim menghentikan langkahku.

"Sudah dulu, Mel. Nanti kalo nggak besok aku cek lagi."

Astaga. Mengapa hati ini sakit seperti ada yang meremasnya kuat. Nyeri tapi untuk membebaskannya sungguh susah. Aku menghela napas menetralisir virus yang menyerang diriku lalu mendahuluinya keluar kamar seraya mengusap cepat air mata yang merembes dari tanggulnya.

Ia menarik kursi tepat saat aku meletakkan teko kaca di samping gelas minumnya. Aku mengisi piringnya dengan nasi, telur dadar, sayur sup, dan sambel terasi, baru aku duduk di sampingnya, memperhatikan dia makan dengan lahap. Beruntung sekali dia tidak rewel soal makanan. Melihat dari cara makannya, mungkin suasana hati Mas Hakim sedang baik, dan ini waktu yang tepat untuk membuka omongan.

"Mas, soal pil KB itu ...."

"Apa pun alasannya aku nggak mau tahu. Ibu sama Bapak sudah pengin cucu."

Setelah berbicara seperti itu dia meninggalkan meja makan. Meninggalkan aku dengan perasaan terluka. Apakah di sini perasaanku tidak penting baginya? Apakah semua ini hanya tentang dia dan keinginan Mas Hakim? Apa aku hanya boneka pelengkap drama rumah tangga ini? Astaga. Apa yang sudah aku perbuat sampai harus menerima pernikahan yang pahit ini dengan kehidupan rumah tangga yang jauh dari anganku?

****

"Murung aja. Lakimu masih marah?" Serly membuka plastik pembungkus cobyhaus fence yang akan dikirim. Ia  memastikan pagar plastik tersebut tidak cacat dan bersih. "Udah coba jelasin kenapa kamu minum pil KB itu?" tanyanya dengan tangan sibuk mengelap benda plastik warna-warni besar itu.

"Udah tapi ya gitulah ...."

Tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan Serly. Marah atau tidak bagiku sama saja. Mas Hakim ya begitu, bicara seperlunya meski tidak menjeda jika aku sesekali bercerita. Aku sampai heran, dulu waktu hamil, Ibu ngidam apa sampai punya anak seperti patung begitu.

Kernyitan di kening Serly menuntut jawaban lebih lengkap dariku. "Gitulah gimana? Cerita itu yang jelas, Cha." Dia akhirnya menyerahkan pagar plastik merah pada Mbak Pipit untuk dibungkus dan dikirim bersama barang-barang yang lain.

Oh ya sekedar informasi, jika aku dan Serly membuka usaha persewaan alat-alat untuk bayi dan mainan untuk paud. Pelanggan kami cukup banyak dan dari semua kalangan. Mereka mungkin sangat terbantu dengan adanya persewaan alat-alat bayi kami yang rata-rata terpakai beberapa bulan saja.

Seperti box bayi, benda itu paling akan terpakai lima bulan atau lebih sampai si bayi aktif berdiri. Dengan harga sewa yang cukup murah, tak heran para orangtua memilih untuk menyewa saja.

(Bukan) Pernikahan TerpaksaWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu