9

17.1K 1.4K 147
                                    

Hallo emak-emak strong, apa kabar hari ini? Nggak pake banyak bicara cuz baca aja.

❤️❤️❤️

"Tadi dia datang ke toko nyariin kamu." Serly menaruh sepiring potongan buah semangka di meja pendek depan televisi lalu duduk di sisiku.

Perhatianku pada acara talk show di salah satu chanel televisi nasional teralihkan. Aku menatap Serly. "Kamu nggak ngomong aku di sini, kan?" Aku takut Serly bilang ke Mas Hakim.

Dia menggeleng. Lega mendengarnya sebab aku belum siap untuk bertemu siapa pun dari mereka, baik keluargaku atau keluarga Mas Hakim. Entahlah. Harusnya aku tidak melibatkan keluarga besar tapi ....

"Aku cuma takut kalo mereka ke sini atau lapor polisi, Cha. Ini udah seminggu, lho," tutur Serly cemas. "Paling nggak kamu kasih info kalo kamu baik-baik aja atau gimana gitu. Kamu boleh marah sama Mas Hakim dan Mbak Amel, tapi jangan seret orangtuamu. Mereka nggak tahu apa-apa."

Aku menghela napas. "Iya aku tahu cuma ... sedikit marah sama mereka juga. Coba kalo Ayah nggak punya janji itu mungkin ... maksudnya, kenapa iya aja pas dia milih aku padahal Ayah sama Bunda tahu kalo Mbak Amel dan Mas Hakim dekat. Bahkan Hana lebih suka Mbak Amel timbang aku," ceritaku lirih. Air mata tak bisa ditahan turun begitu saja. Dada terasa berat untuk bernapas  seolah tertimpa beton besar. "Entahlah. Aku masih nggak mau ketemu siapa pun termasuk Ayah sama Bunda. Kalo kamu keberatan aku di sini. Aku bisa pindah cari kost-an."

Serly mendekat, ia meraih tanganku dan menggenggamnya. "Aku nggak keberatan cuma kepikiran keluargamu aja." Ya aku paham dengan kegundahan dia tapi aku saat ini belum siap bertemu mereka. "Coba balas pesan mereka setelah itu bisa kamu matikan lagi," saran Serly yang aku angguki. "Sudah jangan nangis lagi kasihan si bayik."

Aku tersenyum meskipun perih masih aku rasakan. "Makasih banyak udah bantuin aku, Ser. Aku ...."

"Ck, kayak sama siapa aja, sih. Kamu sahabatku, mau ke siapa minta tolongnya kalo nggak ke aku," dumel Serly tak suka dengan kata terima kasihku.

Ya, dia teman terdekat di antara teman-temanku yang lain. Ah, aku rindu mereka, bagaimana kabar mereka seminggu ini? Karenanya aku segera berdiri, ke kamar tamu mengambil handphone dan kembali ke ruang tengah untuk mengaktifkan dan melihat pesan-pesan yang masuk.

Begitu layar ponselku menyala, berebut pesan masuk. Notifikasi dari Mas Hakim paling banyak disusul Mbak Amel. Bunda juga Ibu, Aldo, grup SMA, genks ciwi-ciwi, dan beberapa customer.

Mas Hakim.
Kamu di mana? Ini sudah malam, kenapa belum pulang?

Kamu ke mana? Angkat telepon Mas.

50 calls.

Please Cha, angkat teleponnya. Bilang kamu di mana Mas jemput.

50 calls.

Cha.
Cha.
Cha pulang. Bunda sama Ibu bingung nyariin kamu. Amel juga. Bapak marah besar waktu aku bilang kamu pergi.

67 Calls

Please balas pesan Mas. Jangan kayak gini. Semua bisa kita omongin bareng.
Pulang.

Cha, pulang. Kalo Mas ada salah bilang.

Mas ke toko katanya kamu nggak ke sana. Tanya Serly dia nggak juga. Kamu di mana?

Dan masih banyak pesan serupa. Aku hanya membacanya tanpa berniat membalas. Begitu juga dengan pesan Mbak Amel tapi untuk Bunda aku membalas pesan beliau.

Bun, Ocha baik-baik aja. Nggak perlu khawatir. Ocha cuma butuh waktu buat nenangin pikiran sebelum pulang. Bilang sama Ayah, Ocha sayang Ayah.

Setelah itu aku kembali menonaktifkan benda persegi panjang warna biru muda itu. Mungkin satu atau dua minggu aku akan pulang dengan keputusan yang matang.

****

Dua minggu yang aku janjikan untuk pulang molor jadi empat minggu, sebab aku enggan untuk pulang. Jauh dari hal-hal yang menyakiti hati membuatku tenang meskipun rindu kerap kali menyiksa. Kadang ingin segera menemui Mas Hakim saat mendengar penuturan Serly, tapi lagi-lagi egoku menahan untuk tidak luluh begitu saja sampai semua jelas.

Iya jelas, bagaimana posisiku dalam hati dan keluarganya. Aku tidak mau menjadi orang asing dari dua hal tersebut. Aku ingin diakui dan diperlakukan dengan semestinya. Menjadi bagian terpenting dari kehidupan mereka dan bukan pajangan di sudut ruangan.

"Cha."

Suara Serly memecah pikiranku. Aku menolehnya sekilas sebelum kembali menikmati gerakan daun-daun tanaman pucuk merah di kebun kecil belakang rumah. Semilir angin malam di tengah cuaca panas kota Malang bagai oase di padang pasir, menyejukkan. Terlebih
ditemani kerlip bintang yang bertebaran, sungguh
menyenangkan.

Serly berdiri di sisiku seraya memberiku cardigan rajut agar badanku hangat. "Masuk, Cha, angin malam nggak baik buat bumil."

"Seger banget di sini, Ser."

Perempuan yang terpaut dua bulan lebih dulu dariku itu terus menatap seakan ingin menyampaikan sesuatu tapi mungkin dia takut akan menyinggungku.

"Ada yang mau kamu omongin?" tebakku.

Dia tampak menghela napas, menatap tanaman yang ia rawat. "Sampai kapan kamu sembunyi terus di sini?"

Aku menolehnya lalu kembali menatap ke depan. "Kamu keberatan aku numpang di sini?" tanyaku balik.

Dia berdecak tak suka. "Kamu tahu aku nggak pernah keberatan, tapi lari dari masalah ini bukan jalan terbaik. Pulang dan selesaikan, Cha. Jika kamu yakin berpisah, berpisahlah secara baik-baik."

Benar yang ia ucapkan. Masalahku tak akan selesai jika aku menghindar tapi untuk kembali dan menyelesaikan semua butuh tenaga juga hati yang kuat. "Aku butuh waktu untuk pulang, Ser." Kuusap-usap lengan telanjangku untuk menghalau dingin yang tiba-tiba terasa.

"Sampai kapan? Sampai anakmu mencari ayahnya? Pikirkan dia juga, Cha," bujuk Serly.

Sampai kapan? Pertanyaan itu juga yang terus menghantuiku sebulan ini.

Aku boleh tanya?" Aku mengangguk. "Kamu cinta banget sama dia? Soalnya nggak akan sebesar
ini efeknya kalau kamu nggak cinta banget sama Hakim."

Aku pun menghela napas sejenak lalu mengiakan ucapan Serly. Aku tak akan mengingkarinya. "Ya, tapi cinta Mas Hakim bukan buatku."

"Siapa yang bilang?"

Tubuhku seketika menegang mendengar suara yang sebulan ini aku hindari. Dengan wajah pucat, aku menoleh ke arah Serly. Mencengkeram tangannya tapi ia urai. Dia menepuk bahuku memberi semangat lalu beranjak dari sisiku. "Selesaikan masalah kalian. Aku pergi dulu," pamitnya.

Aku berbalik, bertemu pandang dengan pria yang sudah menyakitiku. "Ser," panggilku penuh permohonan tapi Serly mengabaikan permintaanku.

Setelah kepergian kawan karibku, keheningan menyelimuti kami. Pandanganku menyapu penampilan Mas Hakim yang tampak berantakan.
Lingkaran hitam di bawah mata, bulu-bulu jenggot yang belum dicukur, dan sedikit kurus, sangat bukan Mas Hakim yang kukenal.

Aku bertahan di posisiku. Meremas sisi gaun yang aku kenakan guna meredam emosi, agar tak berdampak pada janinku. Meskipun baru berusia dua belas minggu, kata dokter,
dia sudah bisa bereaksi terhadap emosi sang ibu.

"Cha...."

"Ayo, kita berpisah," potongku cepat.

"Cha!"

"Itu jalan terbaik buat kita, Mas. Jadi ayo kita pisah."

❤️❤️❤️

Mamposs! Ada bini dianggurin doang. Hayo Kim takut kgak ditinggal Ocha 🤣🤣

(Bukan) Pernikahan TerpaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang