12

16.8K 1.2K 118
                                    


Yuhuuu! OcHa balik lagi.
Happy reading sist 😁

"Aku khawatir kamu sendirian di sini.  Ngapain harus pindah? Aku nggak keberatan, Cha, kamu di sana. Aku seneng ada yang temenin."

Gerutuan Serly memicu tarikan kedua sudut bibirku. Aku tahu dia tak keberatan tapi sungkan untuk terus-menerus membuatnya tak nyaman dengan kehadiran Mas Hakim.

"Balik lagi, yuk. Kalo ada apa-apa sama kamu gimana? Jangan aneh-aneh dong, Cha. Aku nggak tenang ninggalin kamu sendirian di ruko gini. Bener sih anak-anak sampek jam 10 tapi setelahnya itu lho. Balik ke rumah, yuk," ajaknya aki jawab gelengan.

"Nggak apa-apa aku di sini. Kamu tenang aja," tolakku menenangkan dia yang terlihat enggan meninggalkan aku. "Pulang sana udah malam ini." Jam dinding menunjukkan pukul 23:00, kasihan jika harus kemalaman di jalan meskipun rumahnya tak sampai tiga puluh menit dari ruko.

Entah apa yang dipikirkan Serly, perempuan yang memakai celana panjang bahan warna cokelat itu terus mondar-mandir sebelum melempar tubuhnya ke sofa bed sampingku. Jelas saja tindakannya membuat heran.

"Kok?"

"Aku nginep sini malam ini. Udah ngantuk juga."

Serly meraih selimut ukuran sedang yang aku pinjam darinya. Menutupi tubuh hingga dagu. Aku tersenyum kecil. Itu hanya alasan dia karena tak tega membiarkan aku sendirian di lantai atas tempat persewaan alat-alat bayi dan balita ini.

"Makasih ya, Ser. Aku ngerepoti kamu lagi."

Dia mengangguk lalu aku beranjak ke balkon menikmati udara dan langit malam bertebaran bintang. Di kejauhan terlihat seperti titik-titik cahaya membentuk kelompok besar hingga tampak layaknya ladang bunga matahari, terang dan indah. Sejenak aku terlena dalam keindahan itu sampai tak sengaja netraku menangkap mobil hitam terparkir di seberang ruko.

Sedikit mencondongkan tubuh melewati pagar yang kupegang. Mataku menyipit menajamkan penglihatan. Mobil itu? Ah, rupanya dia. Meskipun rindu terus merongrong hati, aku berusaha untuk tidak meloloskan bisikannya agar meminta dia mendekat.

"Ibu harus gimana, Dek?" gumamku. Aku tahu bayi ini tidak akan menjawabnya, tapi dia seperti mengerti, dan mungkin dia juga merasakan rindu yang kurasakan. "Kamu kangen Ayah, ya? Ibu juga tapi ... apa kamu mau ketemu Ayah? Kita dengerin penjelasan Ayah?" lanjutku sembari mengusap sayang perutku yang mulai menonjol.

Mas Hakim keluar dari mobil. Ia mengenakan jaket biru tua, celana panjang, dan berjalan ke arah ruko. Ia melangkah dengan mantap, berhenti tepat di bawah balkon. Ia mendongak. "Kenapa di luar? Kamu pengin apa?" Pandangan dia sendu. Berbeda sekali dengan yang selama ini.

Oh, hati kenapa lemah sekali. Apa kau tak ingat bagaimana dia memperlakukanku? Kenapa terus mendorongku untuk mendekat sedangkan Mas Hakim tak pernah mencintaiku.

"Cha, kamu mau apa? Jangan di luar, dingin."

Aku menatapnya lama. Rindu. Iya, rinduku sungguh menyiksa. "Ngapain Mas di sini. Pulang sana." Kuusir dia agar pertahanan yang sudah aku bangun tinggi juga kokoh tidak runtuh. "Pulang. Jangan membuatku terlihat jahat di mata keluargamu."

Dia menggeleng. "Kamu mau apa? Aku carikan," ulangnya sembari menatapku.

"Pulang, Mas." Bagaimanapun aku tak bisa membiarkan dia kedinginan di luar. Setelahnya aku masuk sekalian menutup gorden.

Ingin rasanya berbalik melihat dia tapi tidak. Aku tak boleh lemah sampai semua ini menemukan titik terangnya. Mungkin setelah hati dan pikiranku tenang, aku memberi waktu mereka menjelaskan semua.

****

Astaga. Ada apa sebenarnya dengan janin ini? Hanya untuk makan saja harus pilih-pilih dan dari semua itu masih saja dikeluarkan lagi. Apakah semua wanita hamil seperti ini? Apa hanya aku?

(Bukan) Pernikahan TerpaksaWhere stories live. Discover now