5

16.5K 1.2K 60
                                    

Halooo! Aing back. Masih setia ngikuti cerita Hakim-Ocha? Cuz langsung baca ya Sista 😁😁

🌷🌷🌷

Potret besar kedua keluarga yang tangah berbahagia menempel di dinding tepat di atas televisi menarik perhatianku dalam keremangan cahaya di ruang tengah. Semua tampak bahagia termasuk aku dan Mas Hakim, tapi bisa aku pastikan jika sunggingan itu terpaksa. Sama dengan senyuman yang kupaksakan, sebab tak ingin terlihat menyedihkan di momen penting itu.

Bahagia Bunda dan Ayah itulah yang membuatku kuat menjalani pernikahan ini hingga menyentuh angka sepuluh bulan, dan aku sadar pelan tapi pasti jika perasaanku tumbuh untuk pria yang tiap malamnya memelukku. Namun, ada lubang tak kasat mata yang membuatku takut. Perasaan Mas Hakim.

Sampai detik ini benakku selalu dan selalu bertanya apakah dia memiliki perasaan padaku atau hanya karena kewajibannya sebagai suami saja. Aku ragu. Tidak tahu mengapa, setiap kali bersama Mbak Amel, senyum lebarnya tampak. Dia benar-benar lepas dan bebas, denganku? Senyum itu begitu mahal.

"Kenapa di sini?"

Suara serak khas orang bangun tidur menyentakku dan cepat-cepat menghapus air mata yang turun. Semoga dia tidak melihatnya. "Tadi haus, lupa nggak bawa air putih ke kamar." Aku tidak berbohong. Gelas bekas air putih masih berdiri tegak di meja depanku. "Kenapa bangun, Mas?" tanyaku pas dia duduk di samping.

"Aku lapar," jawabnya singkat.

Senyum kecilku terbit. "Aku siapin, ya, Mas? Kan nggak mungkin bangunin Bik Mah." Anggukannya membuatku bangkit ke dapur. Tidak bisa dikatakan dapur juga karena menyatu dengan ruang tengah yang dibatasi oleh susunan potongan-potongan paralon warna putih dari atas hingga bawah.

Dalam keadaan darurat seperti ini dia akan mengizinkan aku berkutat dengan kompor dan sebagainya. Tidak sampai lima belas menit makanan sudah siap. Sengaja tadi sore saat dia belum pulang aku membuat bacem ayam, tahu, tempe, dan telur.

Mas Hakim menarik kursi tepat aku meletakkan piring di meja dan mengisinya dengan nasi bertabur bawang merah goreng. Tidak lupa sambel, tempe, dan telur bacem berjejer di piringnya. Tidak banyak suara dia makan dengan lahap, mungkin dia benar-benar lapar mengingat aktivitas kami sebelum tidur.

"Kamu nggak makan?"

Dia bertanya tapi rautnya biasa saja. Menjengkelkan memang tapi apa yang bisa aku harapkan? Dia bertanya pun sekedar basa-basi saja. "Mas, eum ... aku boleh nggak datang ke acara reuni SMA besok sama Serly?" Satu alisnya terangkat disertai tatapan bertanya lebih jauh lagi. "Serly aku minta temenin soalnya acaranya pagi. Nggak mungkin kan ngajak Mas, pas hari kerja juga," jelasku.

Pria pemilik beberapa stand jus itu melanjutkan makannya setelah mendengar penjelasanku. "Acaranya di mana?" tanyanya setelah menandaskan air minum dan menyingkirkan piring bekasnya makan.

"Taman Indie, Mas. Bolehkan?"

"Langsung pulang kalo sudah selesai."

"Iya," jawabku.

🌷🌷🌷

Reuni di sabtu pagi berjalan lancar. Bertemu dengan teman lama membuatku sedikit melupakan perasaanku yang entah kenapa tak enak sedari tadi. Tak hanya itu suasana asri, tradisional, angin yang sepoi-sepoi, dan menyatu dengan alam membuat pikiran tenang. Ingin rasanya berlama-lama di sini ditemani hijaunya padi yang tumbuh di sekitarnya. Sungguh damai dan  membuat lupa akan hiruk pikuk kota Malang.

"Masih di sini?"

Pertanyaan dari pria berkemeja polos slim fit warna khaki lengan panjang yang digulung hingga siku dan dipadu celana bahan hitam yang pas di kaki, membuyarkan lamunanku. Pria ini terlihat lebih dewasa dan tampan dibanding dulu. Penampilan rapi dan trendy tidak berubah sama sekali.

(Bukan) Pernikahan TerpaksaWhere stories live. Discover now