21

14.2K 982 194
                                    


Lohaaa. Nungguin ya wkwkwk. Weslah langsung dibaca wae. 😁😁

"Mau ikut Mas ke toko?" tawar Mas Hakim yang tengah mengancingkan kemejanya.

Aku yang masih rebahan di kasur langsung duduk menghadap dia. Saat ini kami berada di kamarku di rumah yang Mas Hakim beli. Aku memutuskan pulang setelah dua hari di sana. Kunjungan yang aku kira menyenangkan, meleset. Di sana aku semakin suntuk.

"Emang boleh? Ntar ganggu lagi. Mas kan selama ini nggak mau ngajak aku ke toko. Kenapa sekarang ngajak? Kalo kemarin-kemarin pasti takut ganggu kalian, kan?" Ah, kenapa aku jadi kesal dan marah? Rasanya ingin menangis saking kesalnya. Perubahan yang sungguh ajaib, sebentar senang, sebentar marah, sebentar sedih.

Mas Hakim terlihat menghela napas, mungkin aku menguji kesabaran dia. Biar saja, toh ini juga bukan mauku, bisa saja bayi ini ingin membalas perlakuan dia kepadaku. Entahlah.

Pria itu mendekat, duduk di depanku. Mas Hakim sudah rapi juga wangi, dan siap berangkat. Tangannya menggenggam tanganku. "Bukan gitu, Cha. Udah Mas bilang, kami nggak ada hubungan apa-apa. Mas nggak bisa ngelarang Amel suka, itu hak dia, tapi hak Mas juga buat nggak balas perasaan dia."

"Iya. Tapi nggak usah terlalu deket kan bisa. Aneh kamu, Mas. Orang itu nggak akan deket-deket kalo nggak suka." Suaraku tinggi dan ketus waktu menyahuti dia. Harusnya masalah ini sudah beres dan tak ada ganjalan, tapi tidak mengapa aku kembali mengungkitnya.

"Kami deket karena Mas tanya-tanya soal kamu."

"Mas bisa tanya aku. Aku! Kita serumah dan itu kesempatan." Air mataku meluncur saking jengkelnya. Ya ampun pagi yang damai jadi petaka. Pertengkaran ini sungguh di luar prediksiku. "Aku tahu Mas trauma sama perempuan, tapi pas kamu pilih nikahi aku, kita harusnya Mas berusaha mengenalku bukan menekanku!" teriakku.

Astaga, mengapa kami kembali ke titik awal sumber masalahnya. Aku sendiri tidak tahu mengapa jadi pendendam begini. "Dari awal kita tunangan aku udah coba buka hati dan terima takdir kalo Mas emang jodohku, tapi apa? Mas cuma kasih sakit hati. Di sini aku yang tersiksa dan gara-gara hal sepele Mas marah ke aku."

Napasku terengah-engah. Dada ini bergemuruh hebat seakan meledak oleh amarah. Lahar panas di tubuh seolah ingin dimuntahkan hingga tuntas dan tanpa sisa. "Asal Mas tahu, kalo bukan karena bayi ini aku nggak bakalan mau damai. Aku emang cinta tapi aku juga nggak bodoh mau bertahan di sisi Mas. Aku bisa aja bunuh perasaan ini dan hidup sendiri tanpa laki-laki berengsek kayak Mas!"

Meski pandanganku buram karena air mata, aku tahu dia kaget dengan ucapanku. Ekspresi ketakutan pun terbayang. "Cha ... Mas salah dan nggak berpikir panjang. Mas minta maaf," ujarnya dengan penuh penyesalan. "Kita sudah bahas ini. Kita udah baikan kenapa ...."

Dia coba meraihku tapi aku tepis. "Baikan bukan berarti aku lupa sama perbuatan Mas. Biar Mas tahu kalo aku sakit hati. Benar-benar sakit hati."  Aku turun dari kasur, keluar kamar meninggalkan dia dengan wajah pias.

****

"Duh, pusing kan jadinya," gumamku saat terbangun dari tidur seraya memijat kepala. Setelah meluapkan kemarahan dan menangis sepuas-puasnya, aku tertidur di kamar sebelah.

Sebenarnya kenapa aku jadi seperti ini, marah yang berkepanjangan? Ini sangat bukan diriku sekali dan bukankah aku sudah memaafkan dia? Sudah melupakan perbuatan dia? Tapi kalau boleh jujur, aku masih sakit hati. Perasaan itu berusaha kututupi tapi tak bisa. Sudah kucoba singkirkan tetap saja dia kembali.

Aku menghirup napas dalam-dalam usai mengakui jika perasaan bahagia yang kurasa semu, hanya euforia semata. Nyatanya saat euforia itu hilang, aku mengingat lukaku dan sakit hati yang dia berikan. "Kenapa aku jadi dendam gini, ya?" monologku seraya mengusap perut buncitku yang bergerak-gerak tak nyaman.

(Bukan) Pernikahan TerpaksaWhere stories live. Discover now