4

16.8K 1.2K 31
                                    


Yuhuuu! Ketemu lagi  pada kangen kagak ini? Dahlah nggak banyak omong, baca aja 😁

Babay 😚

🌷🌷🌷

"Tidur sana. Ngantuk banget gitu," perintah Serly ketika kepalaku terantuk meja untuk kesekian kalinya saat menghitung pendapatan toko di hari terakhir bulan Oktober. "Kalo capek nggak usah ke toko, Cha. Aku maklum, kok, apalagi manten baru, lagi anget-angetnya. Lagian tahulah aku gimana suamimu," lanjutnya enteng sambil mengulas senyum tapi membuatku sungkan.

Jelas Serly tahu karena padanya aku menceritakan semua, meskipun tidak seluruhnya—terutama soal ranjang. Biar begitu, dia seolah bisa menebak jika aktivitas ranjang yang membuatku lelah, dan itu benar sekali jika benar itu tebakan Serly.

"Apaan, sih, Ser." Aku pura-pura kesal dengan ucapannya padahal itu hanya alibi untuk menutupi rasa maluku.

Serly menempatkan bokongnya di kursi depanku. Ia menatapku lekat sampai risih sendiri. "Atau jangan-jangan kamu lagi hamil lagi?"

Aku melotot mendengar pernyataan Serly. Bagaimana bisa dia berpikiran seperti itu, bahkan terbersit di benakku saja tidak. 

Seolah tahu pikiranku, Serly segera meralat ucapannya. "Gini. Kalian nikah baru beberapa bulan, kan? You know lah aktivitas manten baru nggak jauh-jauh dari ranjang, tiap hari kalo bisa."

Mukaku sontak memerah, omongan Serly tepat. Gairah Mas Hakim cukup besar dan tak pernah puas seperti orang kelaparan yang tidak makan berhari-hari. Sedikitnya dua sesi jika bercinta, sampai aku berpikir, apakah semua pria sepertinya? Jujur saja, pengalamanku soal pria terbatas dan menikah dengannya memberiku pengalaman baru.

Serly tersenyum kecil mengetahui parasku merah seperti tomat. Ia berdeham baru melanjutkan kata-katanya. "Emang, sih, nggak bisa jadi patokan juga, tapi bisa aja, kan? Soalnya aku lihat beberapa waktu ini kamu kayak capek terus gitu. Banyak tidurnya daripada melek," terangnya mengemukakan pendapatnya. "Belum lagi kamu makan makanan yang nggak kamu suka. Apa coba namanya kalo bukan indikasi hamil?" tebak Serly.

Aku tersenyum sumbang dengan analisis Serly, karena aku yakin tidak hamil. Mungkin aku memang lelah dan butuh istirahat. "Ser, sebenernya ... aku ... minum pil KB," cicitku. Suara yang begitu lirih membuat Serly mendekatkan telinganya. Kerutan di dahi menandakan dia tak mendengar ucapanku. "Aku minum pil KB," ulangku lebih keras.

Aku sedikit meringis melihat mata Serly membulat besar dengan bibirnya terbuka tanpa mencetuskan apa pun. Mungkin dia tak percaya aku bisa punya pikiran sejauh itu. "Aku belum siap, Ser, soalnya aku nggak tahu ke mana pernikahan ini akan berakhir." Helaan napasku terdengar jelas antara kami berdua.

"Aku nggak tahu gimana perasaan Mas Hakim. Apa di hatinya ada aku atau perempuan lain? Apa di depan nanti dia tetep sama aku atau milih pergi? Semuanya abu-abu, Ser, dan ya itu membuatku takut kalo sampai hamil. Apa dia bisa menyayangi anaknya sedangkan ia tak punya perasaan apa-apa untuk ibuknya? Aku juga takut kalo anakku nggak punya orangtua lengkap. Aku nggak bisa bayangin."

Tatapanku jatuh pada sepeda roda tiga pink dan biru dengan keranjang di belakang sadel juga pegangan warna pink yang memudahkan untuk mendorong. Sepeda itu begitu cantik, secantik anganku tentang buah hatiku kelak. Gadis kecil dengan mata bulat, lesung pipi, bibir mungil merah, dan tawa menularkan kebahagiaan pada sekitarnya. Sungguh aku tak sabar ingin memilikinya, tapi kenyataan di depan mata memecah bayangan indah itu.

Perempuan pemilik lesung pipi itu mengangguk mengerti. Mungkin dia memahami ketakutanku. "Mas Hakim tahu?" tanya Serly dengan tatapan sendu.

"Nggak."

(Bukan) Pernikahan TerpaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang